Jumat, 05 Februari 2016

Foto dan kopi (Satukanlah)


Tuan aku tertawa, aku merasa sedang sedih, maka aku tertawa. Ha ha ha ha Tuan, aku tertawa. Kau dengar tawaku? Terima kasih Sang Mahapengampun aku mentertawai diriku, aku bersyukur dapat menggoyangkan anak tekakku untuk candai dirimu.

Abang, pecimu bang, pecimu. Menandakan kau muslim. Subhanalloh. Senyum yang kau rekahkan bukan saja kesejukan, juga malunya pandangan matamu menatap. Abang, lekuk tubuhmu biasa saja tak kekar seperti olahragawan, tapi tubuhmu berisi seperti apa yang seharusnya. Senyemmu lebih dari itu. Menggugah.

Tiap magrib kusempatkan menengokmu untuk sesekali memampang muka kucelku di hadapanmu. Bukan hanya magrib kadang sehabis isya. Cari muka untuk jodoh yang kumau. Kau kau kau. Terlihat agamis dapat membimbing, sederhana, tidak banyak tingkah, murah senyum, dan kutahu kau pekerja pencari barokahNya. Karena itu, kau tersenyum.

Selamat kau telah tersenyum begitu ikhlas, memampang kilau gigimu, dengan sarungmu, juga rambut kepanjanganmu itu. Semoga ikhlasmu membawa keberkahan untuk terus menyapaku, sesekali berada sejajar di depan komputer yang berbeda. Wahahahahaha tsaaah

Foto dan kopi, aku yang terus melewati ruangmu sembari melirik mata tajamku yang penuh dengan bola mata panda.