Tuan aku tertawa, aku
merasa sedang sedih, maka aku tertawa. Ha ha ha ha Tuan, aku tertawa. Kau
dengar tawaku? Terima kasih Sang Mahapengampun aku mentertawai diriku, aku
bersyukur dapat menggoyangkan anak tekakku untuk candai dirimu.
Abang, pecimu bang,
pecimu. Menandakan kau muslim. Subhanalloh. Senyum yang kau rekahkan bukan saja
kesejukan, juga malunya pandangan matamu menatap. Abang, lekuk tubuhmu biasa
saja tak kekar seperti olahragawan, tapi tubuhmu berisi seperti apa yang
seharusnya. Senyemmu lebih dari itu. Menggugah.
Tiap magrib kusempatkan
menengokmu untuk sesekali memampang muka kucelku di hadapanmu. Bukan hanya
magrib kadang sehabis isya. Cari muka untuk jodoh yang kumau. Kau kau kau.
Terlihat agamis dapat membimbing, sederhana, tidak banyak tingkah, murah
senyum, dan kutahu kau pekerja pencari barokahNya. Karena itu, kau tersenyum.
Selamat kau telah
tersenyum begitu ikhlas, memampang kilau gigimu, dengan sarungmu, juga rambut
kepanjanganmu itu. Semoga ikhlasmu membawa keberkahan untuk terus menyapaku,
sesekali berada sejajar di depan komputer yang berbeda. Wahahahahaha tsaaah
Foto dan kopi, aku yang
terus melewati ruangmu sembari melirik mata tajamku yang penuh dengan bola mata
panda.