Jumat, 11 Desember 2015

Begini Rasanya

Malam datang lagi, waktunya mengekspresikan uneguneg melalui katakata. Hallo malam, hallo cahaya, dan terutama hallo kamu yang di sana. Iya, kamu...

Apa yang membuatmu tertawa? Leluconkah? Gerak gerik temanmu yang belo’onkah? Atau yang lainnya? Hmm, Bagiku aku tertawa berarti aku tersenyum. Karena tertawa sudah mengekspresikan hati dan diriku tersenyum.

Senang rasanya dapat berkumpul bersama teman, kawan, saudara, dan yang terutama sih bersama keluarga. Eh, tidak lupa juga berkumpul denganmu. Kamu yang mana? Ya, kamu yang lagi baca cerita ini, hahaha. Bagiku kumpul bukan saja bermain, tetapi dengan berkumpul bersama teman kita dapat menenangkan sejenak keresahan jiwa dari sesaknya aktivitas.

Dalam hidup kita tidak mungkin bisa melakukan semuanya serba sendiri, karena kita adalah mahluk sosial. Mahluk yang membutuhkan manusia lain. Karena manusia kalau hanya sebatang kara samadengan kesepian samadengan sendiri samadengan jomblo dan samadengannya isi sendiri dah ......

Bisa saja ketika kita butuh pinjaman uang, minta makan gratis, minta dibayarin parkiran, minta mau nonton purapura gak puya doku eh ujungnya dibayarin temen deh, terus apa lagi ya manfaat teman? Hahaha. Itulah manfaatnya mahluk sosial.

Senang kumpul bukan hanya untuk hurahura, tapi juga untuk yang bermanfaat. Misalnya gabung di komunitas sosial. Eh berhubung komunitas aku mau cerita nih. Aku ikut gabung di salah satu komunitas sosial sebut saja namanya, Salman. Udah ah itu aja ceritanya. Titik.

Haaap, ngebahas tentang kumpul sering aku dan kawan nguli kumpul di pinggir jalan buat makan makanan pinggiran, kami sebut itu namanya jamur alias jajanan murah, maklumlah kantong mahasisa, makan goceng juga udah sujud syukur sambil koprol. Belinya goceng tapi makannya bisa sejam duajam. Kebanyak ngegosipnya. Entar ngomongin si anu yang gitu, si ono yang gono, ama si itu yang begitu. Perempuan namanya juga. Kalian juga pasti sering kan kumpul bareng? Makan bareng bahkan ngegosip bareng. Kalau kumpul ajakajak dong, siapa tau bisa nemu jodoh *ehh

Kalau kumpul bareng sodaraah pasti tiap akhir pekan, ngerame bareng, gilagilaan, seruseruan, bahkan gembelgembelan, samapi gak mau pulang maunya disenggol *seeehahaha. Berhubung sodaraaahnya kebanyakan perempuan dan cuma satu jejaka yang ada, kadang jejakanya jadi perempuan jadijadian. Emang adanya dia doang. Sedih sih, mau nangis tapi gak bisa soalnya kata Alloh mah udah takdirnya begitu. Ya begitu. Hahaha, sodaraaah maafkan katakata ini.

Katika kumpul bersama teman datanglah tepat pada waktunya, jika telat sedikit maka kau bukanlah teman yang baik, karena sudah buat menunggu, karena temanmu itu juga lagi menunggu, yaa menunggu jodoh. Makanya jangan buat dia menunggu lagi! Bukan apapa kasian aja tuh bocah. Teman yang baik adalah teman yang mengerti kesusahan teman lainnya. Jangan lupa cariin jodoh buat teman yang belum dapat jodoh, bukan apapa kasian aja tuh bocah dewekan mulu. Wakakakak.
Cobalah tertawakan diri sendiri


Sebelas Efek Desember

Jumat, 04 Desember 2015

Dirimu di Desember, Tuan

Duh, November akan berganti dalam hitungan jam. Hallo Desember, hallo efek rumah kaca, hallo cokelat yang baru saja kugigit, hallo mantan *awas kau bisa juga kugigit, eeeeeeh.

Hanya ada angka tigapuluh di bulan November, biasa saja seperti bulan yang lain. Kau pun tahu. Yang terbaik itu Desember. Kau tahu? Yaa, tigapuluhsatu.

Semangat menuju tigapuluhsatu untuk lakilaki pemaluku. Bertambah tua berkuranglah sisa hidupmu. Kuharap bertambah tuamu juga tambah bermakna sisa hidupmu. Yaa, tigapuluhsatu. Doaku sedikit bersama kenangan itu.

Kau yang sedang bertambah usia, apa kabar kini? Semoga kau sudah melupakanku. Bukan. Bukan melupakanku, tapi melupakan kenangan kita. Kukira sudah. Semangat! Aku belum bisa melupakan *itu* karena dirimu masih melekat dalam dindingku. Aku masih bertahan dengan yakinku; Bahwa kau bisa melupakan, lalu aku masih di tempat yang sama. Jika kelak aku pergi bukan berarti aku tidak denganmu, aku pergi hanya ingin merasakan apakah dengan yang berbeda sama rasanya sepertimu juga.

Kulepaskan namun belum seutuhnya. Kurelakan namun belum seikhlasnya. Kuikhlaskan namun belum juga usai serpihan itu. Kutersenyum lantas semuanya terobati, sampai nanti kita kan bertemu. Aku yakin dirimu takkan kembali, itu sudah benar Tuan. Aku pun tidak akan kembali jatuh cinta untuk yang kedua kalinya dengan manusia yang berbeda. Selebihnya itu adalah anugerah.

Desember semangat bermetamorfosis, sampai pada tenggat yang telah ditentukan. Semangat duapuluh di tigapuluhsatu Desember. Kuucapkan. Maaf jika Tuan merasa. Kukira cukup.


Duasembilan penghujung sebelas

Perempuan Obrakabrik

Duh, Hujan!

Hujan hujan hujan. Hujan di bulan Desember. Aku merindu hujan.

Menyambut duabelas dengan senyuman tipis di bibir, mengeluheluhkan liburan yang sudah dekat. Berterima kasih atas anugerah dipenghujung Desember. Menyambut meriahnya tahun yang akan datang. Entah sampai atau tidak usiaku. Kuharap cukup. Terima kasih sudah mau mengenalku. Meskipun tidak kau rengkuh diriku. Desember merinding rindu.

Kuawali pagi ini dengan balutan kehijauan yang meneduhkan (baca: bagiku) tersenyum palsu sebisaku di hadapan pasang mata. Berkaca pada Desember tahun lalu, hingga kini kumasih berkaca. Koarkoar ini membuatku tidak tenang, tidak berkoma juga tidak bertitik. Kunikmati. Sedikit kutimpali katakatanya dengan senyuman tipis.

Desember, kumenunggumu dari sebelas bulan lalu. Kini sudah kujamah engkau dalam celah kerinduanku. Pembuka Desember yang cerah. Berbisik tajam dalam hati untuk terus mengabadikan diri pada cerita yang kuketik. Meluapkan rasa pada katakata yang apa adanya. Beginilah aku. Apa adanya bersama Desember.


Kilai yang memanjang membuatku risih, kuputus, dan membuangnya. Dentuman ini menandakan awal Desember. Di satu duaribulimabelas duabelas. Terima kasih Sang Maha Cinta kau mencintaiku masih di muka bumi. Bersama miliaran manusia yang kuharap 

Rabu, 02 Desember 2015

Ini Desember

Diawal Desember aku selalu menanti akhir dari Desember. 
Bersama pelangi setia menanti hujan reda. 

Karena itu Desemberku

Senin, 23 November 2015

Rintihan Perempuan



Hallo hallo ollaaah. . .

Salam sayang untuk manusia yang sedang kaurindukan. Titip pesan untuknya bahwa aku juga mendoakannya. Medoakan agar kelak ia tak lagi memanggilku. Karena itu selingkuh namanya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia selingkuh adalah suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; suka menyeleweng;

Duh seram ya artinya hahaha. Sudah berapa kali kalian melakukan hal itu? Yaa, kuharap tidak sama sekali. Kuharap bukan kamu. Itumah orang lain. Kamu mah jujur. Iya kan, iya!

Sore kemarin aku baru saja berkunjung ke rumah kawan semasa sekolah dasar, kurang beberapa menit dari pukul lima di rumahnya. Mendung. Beranjak sepuluh menit duapuluh enampuluh dan waktunya adzan magrib. Allohuakbar allohuakbar allohuakbar.

Tunggu. Sebelum magrib ada perempuanperempuan yang datang. Ia adalah kawannya ketika di bangku menengah atas. Bersama tiga perempuan manis lainnya. Membawakan duabelas lingkar yang ditancapkan cahaya redupnya. Berharap ada sepenggal doa dan harapan yang dipanjatkan. Mengapa harus dengan lilin? Tanyaku dalam benak. Ah, sudahlah. Itu kebebasan. Tapi islam? Sudahlah.

Seusai tobat yang kami lakukan seraya memohon ampun atas sehari yang penuh khilaf. Sedikit bercengkrama dengan beberapa cangkir teh hangat yang disuguhkan. Nikmat. Penebus dinginnya raga untuk dirangkul. Memuncak hingga tawa tercipta.

Ada guyonan yang sempat mencibir teman di sampingku. Mengisyaratkan bagaimana perasaanmu ditikung? Sudah lebih baikkah? Sontak aku tertawa dengan cibiran yang hangat itu. Perempuan bermafela kebiruan itu langsung menjabarkan berapa pedihnya ditikung dengan sahabat sendiri. Duabelas tahun terjalin pertemanan antara meraka tapi nyatanya? Penjang lebar perempuan itu bercongor tanpa lelah, menjabarkan panjangnya jalan cerita penikaman yang ia rasakan. Sedih sih tapi apa mau dikata, sudah terjadi. Yasudahlah.

 Usailah, usaikan saja semua pertentangan di hati. Itu sudah baik. Itu milik orang lain, jangan kau pertikaikan. Hati belum berpihak padamu. Sabarkan nak. Hahahahaha.



Perempuan itu berperasaan, amat perasa.

Rabu, 18 November 2015

Rute Ambisi


Salam warga blogku, malam ini aku akan sedikit berbagi cerita tentang kebiasaan yang sampai saat ini aku lakukan. Entah itu sendiri, berdua, atau rombongan sekalipun. Tapi bisa dibilang jarang sekali aku melakukan kebiasaan ini rombongan. Maklum saja, waktulah yang memisahkan kami. Sama perihalnya ketika perpisahan itu *tsaaah.

Sepeda. Malam. Cahaya. Mungkin itu adalah tiga kata yang paling aku kagumi sampai datik terakhir aku mengetik narasi ini. Aku suka bersepeda mengitari kota kecil ini. Tidak terlalu panjang rute malam yang kutempuh, hanya beberapa kilometer saja. Yang penting aku dapat mengeluarkan ego ketika bersepeda.

Bagiku bersepeda adalah bentuk ekspresi dari apa yang kita ingin lakukan. Mengalahkan ego dari maruknya kuasa perasaan. Memaksa kaki untuk terus mengayuh kerasnya pedal. Jarijari yang memutar dalam hitungan detik dan hempasan dinginnya malam. Teriring alunan yang mendesah ditiap bisik telinga, tanpa tahu lirik apa yang sedang meronta dalam kepala. Ah kau sepedaku.

Malam begitu istimewa bagiku. Karena malamlah aku bisa keluyuran tanpa harus memikirkan haus dan panasnya terik mentari. Mengayuh pedal di malam hari seperti kau mengais harapan untuk sampai di tempat tujuan. Ketika kau mengayuh ada saja tujuan yang ingin kau tuju. Entah itu apa! Yang pasti kau terus mengayuh di atas pedalmu. Hingga titik terakhir. Yaa, kau telah sampai.

Rute terjauh yang pernah aku terjang hanya sampai Gelora Bung Karno atau biasa disingkat GBK. Pagipagi sekali sudah menyiapkan diri, padahal baru malamnya kami janjian untuk bersepeda. Terkadang yang mendadak itu pasti jadi. Aku hanya berdua dengan temanku, awalnya janjian bersepeda tetapi ketika ia sampai di gang pos dekat rumahku ia mengendarai motor -___- sontak aku kaget bukan kepalang, laah kok? Sudahlah abaikan itu. Ini ambisiku untuk sampai pada tempat itu.

 Aku berangkat bersama teman ketika kami duduk di bangku SMP, rumahnya dekat dengan gang rumahku. Aku mengayuh sepeda sampai kepayahan karena baru kali pertama jarak jauh hehehe. Ambisi yang membuatku yakin untuk sampai di tempat tujuan. Benar saja, aku sampai. Rasanya itu. Huuuuuu ah. Puas. Begitulah ambisiku untuk sampai.

 Rute selanjutnya adalah Taman Kota dua di Tangerang Selatan. Bersama sodarahsodarah tercinte mengayuh sepeda pagi hari. Rute sektor Bintaro juga sudah terjamah, bahkan sampai STAN sekalipun, lurus lurus dan lurus tidak tahu arah, rutenya pun sangat jauh bagiku, kami hanya berdua, bersama sodaraah perempuanku yang setia menemani. Tidak malam, sayang. Lagilagi aku mengalahkan ambisi untuk sampai ke tempat tujuan. Lelah memang, tapi begitulah ambisi. Rasanya dapat mengalahkan diri sendiri itu hal yang membuatku segan pada diri ini. Mampu untuk berperang melawan ketidakmungkinan *ucapkan selamat pada diri sendiri sambil tepuk tangan*

 *balik ke malam hari* acara sepedah malam itu hal yang paling kunanti. Sama ketika halnya aku ikut acara Tangerang Last Friday Ride dalam rangka miladnya yang ke tiga tahun *kalau tidak salah* semua pesepedah berkumpul di Alunalun Pusat Pemerintahan atau bisa digauli dengan kata Puspem. Banyak yang datang, mulai dari Ciledug, Cipondoh, Kotabumi, Perum, Cimone, bahkan ada yang dari Bandung sekalipun. Senang rasanya berkumpul bersama mereka. Kau tahu? Malam itu pesepeda perempuan bisa dihitung dengan jari. Tidak banyak.

  Kami mengitari Kali Cisadane, sampai diakhir perjalanan hujanpun datang. Semua berteduh. Lama. Dan di situlah cerita manis terukir dalam tigapuluhsatu Oktober duaribuempatbelas. Ada sedikit kenangan yang bisa kupetik. Mulai dari punya teman baru, adekadek baru, sampai kenalan baru *sambil joged* hahaha. Pesepeda tidak hanya para remaja, tetapi juga anakanak bocah yang sudah dari awal ikut TLFR #1dan2.

 Mereka rombongan. Aku? aku hanya seorang diri. Barang kali seperti lagu, terlalu lama sendiri. Laaah hahaha. Berangkat dari rumah menuju tempat menimba ilmu *memangnya ilmu ditimba apa ya? kayak sumur saja haha* ketika pulang aku langsung cusss deh ke Puspem. Itulah pengalaman pertama bersepeda jauh sampai larut malam. Eitsss, tenang aku sudah izin dengan kedua orang tuaku kok.

  Rasanya masih banyak rute yang harus kutempuh lagi. Tidak usahlah jauhjauh yang penting berkesan dalam perjalanan. Itu  sudah cukup. Juga mampu mengalahkan diri sendiri. Itulah ambisi. Untuk dirimu yang senang bersepeda, bersepedalah dengan tenang dan damai, karena itu akan membuat pikiranmu menjadi lebih bebas. Patuhilah rambu lalu lintas di jalan. Tidak gaduh. Sekian.

 Entah kalimat apa yang tepat untuk mengakhiri narasi ini. aku hanya ingin mengetik “hei kamu, iya kamu. Sepedahan bareng yuk!” eaaah, baperlukalamaabaikanbabay. Wakakakakakak. 

Dentuman Limabelas

Kau tahu bagaimana rasanya jadi aku? Membumbung bebas dalam imaji yang tak sempat dibatasi oleh pembatas yang terbatas-batas. Kau tahu? Bagaimana? Tidak, kau hanya penikmat! Aku yang menjalani. Meronta bebas dalam kelu yang tak sempat terbaca oleh indera. Aku, ya aku.

            Aku tak sempat membuat pertanda untuk hari esok. Hari ini saja lusuhku masih sepenuhnya. Berantakan. Aku meronta dalam jerit yang tidak kuperdengarkan. Alloh aku padaMu. Titik.

Tangis itu menandakan ada penyesalam dalam pembelajaran. Kenapa aku tidak belajar dari mereka sang penguasa bumi? Pada mereka sang penjilat kata? Pada mereka sang pemakna hidup? Juga pada mereka sang pemeluk agama yang kokoh? Kenapa tidak? Aku hanya belajar dari apa yang kujalani, kulihat, lalu ditiduri.

            Pagi ini cayaMu enggan tuk menampakan silaunya. Kukira masih pukul pagi tapi sudah menunjukan pukul delapan dualima. Hembusan angin itu mengayun kibasan rambut yang masih basah. Ya, hembusan yang mengutakatik di atas kepalaku. Membawanya ke kiri lalu ke kanan. Menghempaskan basahnya.

            Banyak suara bising yang tidak ingin kudengar, tapi kau harus mendengarnya! Begitu lantunan hari ini. Hening. Tidak banyak sayupan dalam ruang ini. Hanya ada congor yang melantunkan komatkamitnya di luar sana. Kudengar. Hanya jadi pendengar. Sempat kecewa karena hari ini yang tidak ada perjanjian. Abaikan.

            Memalingkan wajah pada sudut yang tak ingin ditengok. Masam. Menggerutu sesosok. Seperti tidak berkawan. Menatap pada layar yang hanya bisa dihadapkan tanpa kata, juga tanpa ekspresi. Berkaca pada layar hitam, ah ternyata aku juga hitam.

            Bung, bung, bungkam! Tolak semua kenangan. Bung, bangun bung bangun. Hapus semua kenangan bung. Kelam cerita itu. Muak dengan semua yang sudah berlalu. Menatap sadis. Rasanya lelah jika harus berperang melawan penjajah. Ya, penjajah kenangan yang terus mengingatkan.

            Kini sudah angka dua yang kita torehkan dalam kenangan, terima kasih angka ini terus bertambah dalam perjalananku. Inilah yang harus kuberbaiki seraya memohon ampunan Sang Gusti Alloh. Rasanya cukup sesak. Bagaimanapun itu.

           



Untuk November di limabelas

Rasanya *titiktitik*