Selasa, 10 Maret 2015

Fototustel Gingsul Kanan



Bergulat dengan rasa. Memecah keheningan dalam kalbu, ada hal yang menggelitik. Kau ah kau dan kau. Rasanya aku ingin meraih titipan salam dari sang alam. Kau nyata dalam imajinasiku. Salam kenal hai pemilik gingsul yang manis. Rasanya aku baru kali pertama melihatmu, namun sudah miliaran kata yang ingin aku ucapkan padamu. Melayang dalam mimpiku kau berkelana dalam jemariku, menari-nari dalam melodi sanksi. Keceriaan itu membalut kesanksianku untuk mampu berada di hadapanmu, di hadapan si pemilik gingsul itu.

Penjelajah, itulah kata yang pantas untukmu. Kau bukanlah ksatria yang ada dalam dongeng, bukan juga pangeran yang ada dalam cerita Barbie, namun kau nyata ada di dunia yang semakin usang. Memekakan telingaku jika kau pergi mencari buruan yang ntah apa yang kau cari!

Lama dalam hadapan, aku semakin takut denganmu. Ya, aku takut serakah untuk dapat memilikimu. Bagaimana mungkin aku tak tertarik denganmu, sejengkalpun kau jauh rasanya ada yang hilang dalam hadapanku. Memutar-mutar dalam angan yang bisu. Aku tak kuasa meronta dalam batin, meronta untuk tak serakah memilikimu.

Lama tak jumpa dengammu, kucari ke sangkarmu kiranya ternyata kau sedang menjelajah. Terbatas dalam khayalku kau ada di tempat itu. Tempat awal aku mengenalmu, saat kau tepat di depanku ketika magrib telah tiba. Saat kau yang bertanya kiranya aku datangkah ke sangkarmu. Saat ketika aku ingin melihat gingsulmu itu. Ya saat itu.

Rasanya hambar. Pedaspun tak terasa, yang ada manis ketika kilauan gingsul itu mulai menepi tepat di palung raga ini. Harus seperti apa aku ini? jika aku serakah untuk menggenggammu? Namun, ketika aku genggam semakin erat, engkau malah mencoba melepaskan genggaman itu, dan ntah ke mana langkahmu bermuara itu. Air putih yang aku teguk rasanya terlihat manis ketika kau pegang dan kau sediakan untukku kala itu. Aku tak pandai merangkai kata, bahkan aku tak pandai menyembunyikan kisah ini sendiri!

Semoga datangnya keserakahan itu membuatku berpikir, bahwa kau hanyalah anganku yang hanya ada di hadapanku. Bukan ada di genggamanku. Jangan kau minta aku menghentikan angan ini, biarkan aku terus hidup dalam bayangmu. Cukuplah begini, karena hanya dengan ini aku bisa lebih dekat denganmu. Sampai esok kita kan berhadapan lagi.

Mengusik kesendirianku, ah mungkinkah aku merindunya? Ataukah hanya angan-angan melayang? Terima kasih untuk inspirasi gingsulmu malam ini. Sekian.



Gingsul, edisi Maret 2015


Kuring Aku


Aku itu ya aku. Jika aku bukan aku, maka aku bukanlah aku. jika aku menjelma seperti kuasa Tuhan maka aku bukanlah aku. Jika aku bintang maka aku akan menggonggong meronce kesenyapan malam. Jika aku alam maka aku akan bertasbih seperti dedaunan yang terus berjatuhan. Jadi aku adalah aku. Bagaimanapun caranya.

Aku ingin seperti Fathimah binti Muhammad yang terus tabah dalam hidup, tapi lagi-lagi aku adalah aku. Aku juga ingin seperti Siti Khodijah yang setia pada Muhammad, tapi aku mulai dihempaskan oleh kata itu, karena aku adalah aku. Mengapa tak percaya jika aku seperti ini? Sudahlah karena aku adalah aku.

Sang waktu sudah sangat mengerti akan diriku, begitu juga Alloh. Alloh tau bagaimana busuknya aku dalam kebohongan ini, kebohongan untuk terus bertahan hidup. Banyak goresan - sayatan bahkan robekan luka yang aku ucapkan dalam lisanku yang dusta, banyak tamparan - pukulan -  bahkan bogeman yang aku lakukan dengan jemari lentikku ini. Ada ratapan - rintihan – kesinisan yang aku lirikkan pada sekitarku. Banyak langkah menuju maksiat yang aku tanamkan jejak-jejaknya untuk ditapaki. Ahhh!

Alloh, kupercaya engkau pengampun, maka ampunilah aku. Arus hidup ini yang membuat aku semakin lebur dalam kenikmatanmu, kenikmatan yang tak bisa aku pilih hanya satu. Mengapa aku membangkang, Jika tugas utamaku adalah Taat kepada-Mu? Apakah aku tak paham akan perintah-Mu? Bimbing aku Yaa Robb, aku lemah di hadapanmu, setetespun aku tak kuasa dengan apa yang aku miliki kini.