Jumat, 20 Maret 2015
Selasa, 10 Maret 2015
Fototustel Gingsul Kanan
Bergulat dengan rasa. Memecah keheningan dalam
kalbu, ada hal yang menggelitik. Kau ah kau dan kau. Rasanya aku ingin meraih
titipan salam dari sang alam. Kau nyata dalam imajinasiku. Salam kenal hai
pemilik gingsul yang manis. Rasanya aku baru kali pertama melihatmu, namun
sudah miliaran kata yang ingin aku ucapkan padamu. Melayang dalam mimpiku kau
berkelana dalam jemariku, menari-nari dalam melodi sanksi. Keceriaan itu
membalut kesanksianku untuk mampu berada di hadapanmu, di hadapan si pemilik
gingsul itu.
Penjelajah, itulah kata yang pantas untukmu.
Kau bukanlah ksatria yang ada dalam dongeng, bukan juga pangeran yang ada dalam
cerita Barbie, namun kau nyata ada di dunia yang semakin usang. Memekakan
telingaku jika kau pergi mencari buruan yang ntah apa yang kau cari!
Lama dalam hadapan, aku semakin takut
denganmu. Ya, aku takut serakah untuk dapat memilikimu. Bagaimana mungkin aku
tak tertarik denganmu, sejengkalpun kau jauh rasanya ada yang hilang dalam
hadapanku. Memutar-mutar dalam angan yang bisu. Aku tak kuasa meronta dalam
batin, meronta untuk tak serakah memilikimu.
Lama tak jumpa dengammu, kucari ke sangkarmu
kiranya ternyata kau sedang menjelajah. Terbatas dalam khayalku kau ada di
tempat itu. Tempat awal aku mengenalmu, saat kau tepat di depanku ketika magrib
telah tiba. Saat kau yang bertanya kiranya aku datangkah ke sangkarmu. Saat
ketika aku ingin melihat gingsulmu itu. Ya saat itu.
Rasanya hambar. Pedaspun tak terasa, yang ada
manis ketika kilauan gingsul itu mulai menepi tepat di palung raga ini. Harus
seperti apa aku ini? jika aku serakah untuk menggenggammu? Namun, ketika aku
genggam semakin erat, engkau malah mencoba melepaskan genggaman itu, dan ntah
ke mana langkahmu bermuara itu. Air putih yang aku teguk rasanya terlihat manis
ketika kau pegang dan kau sediakan untukku kala itu. Aku tak pandai merangkai
kata, bahkan aku tak pandai menyembunyikan kisah ini sendiri!
Semoga datangnya keserakahan itu membuatku
berpikir, bahwa kau hanyalah anganku yang hanya ada di hadapanku. Bukan ada di
genggamanku. Jangan kau minta aku menghentikan angan ini, biarkan aku terus
hidup dalam bayangmu. Cukuplah begini, karena hanya dengan ini aku bisa lebih
dekat denganmu. Sampai esok kita kan berhadapan lagi.
Mengusik kesendirianku, ah mungkinkah aku
merindunya? Ataukah hanya angan-angan melayang? Terima kasih untuk inspirasi
gingsulmu malam ini. Sekian.
Gingsul, edisi Maret 2015
Kuring Aku
Aku itu ya aku. Jika aku bukan aku, maka aku
bukanlah aku. jika aku menjelma seperti kuasa Tuhan maka aku bukanlah aku. Jika
aku bintang maka aku akan menggonggong meronce kesenyapan malam. Jika aku alam
maka aku akan bertasbih seperti dedaunan yang terus berjatuhan. Jadi aku adalah
aku. Bagaimanapun caranya.
Aku ingin seperti Fathimah binti Muhammad yang
terus tabah dalam hidup, tapi lagi-lagi aku adalah aku. Aku juga ingin seperti
Siti Khodijah yang setia pada Muhammad, tapi aku mulai dihempaskan oleh kata itu,
karena aku adalah aku. Mengapa tak percaya jika aku seperti ini? Sudahlah
karena aku adalah aku.
Sang waktu sudah sangat mengerti akan diriku,
begitu juga Alloh. Alloh tau bagaimana busuknya aku dalam kebohongan ini,
kebohongan untuk terus bertahan hidup. Banyak goresan - sayatan bahkan robekan
luka yang aku ucapkan dalam lisanku yang dusta, banyak tamparan - pukulan
- bahkan bogeman yang aku lakukan dengan
jemari lentikku ini. Ada ratapan - rintihan – kesinisan yang aku lirikkan pada
sekitarku. Banyak langkah menuju maksiat yang aku tanamkan jejak-jejaknya untuk
ditapaki. Ahhh!
Alloh, kupercaya engkau pengampun, maka
ampunilah aku. Arus hidup ini yang membuat aku semakin lebur dalam
kenikmatanmu, kenikmatan yang tak bisa aku pilih hanya satu. Mengapa aku
membangkang, Jika tugas utamaku adalah Taat kepada-Mu? Apakah aku tak paham
akan perintah-Mu? Bimbing aku Yaa Robb, aku lemah di hadapanmu, setetespun aku
tak kuasa dengan apa yang aku miliki kini.
Langganan:
Postingan (Atom)