Sudah
kali kedua aku berkunjung ke tempatmu, tempat yang dulu kuidamkan bahwa kelak kau
akan membawaku ke tempat yang sama. Dulu sekali. Ketika masih denganmu.
Membolakbalikan kenangan yang sepantasnya tak usah kulakukan. Maaf jika rasaku
masih tertinggal bersamamu. Acap kali kutegarkan apa yang seharusnya sudah
terjadi. Tapi, ntahlah kau lagilagi.
Jum’at,
aku sampai tepat di portalmu. Kuhentikan gas kendaraan, agarku bisa menikmati
semilirnya angin di wilayahmu. Segar. Nikmat. Dan membangkitkan kenangan. Ah…
Tokotoko
berjajar dengan semerautnya, kiri kanan semuanya menjajakan apa yang bisa
dipertahankan dalam hidup. Menggaduhkan suasana, tapi itulah kesan pertama yang
kudapat saat lintasi tempatmu.
Maaf, bukan maksudku untuk terus mengintaimu,
ini hanya kebetulan saja. Kulewat, lalu kusapa tempatmu. Ternyata aku terkesima
dengan suasana sore, guratan awan legam membuatku mengikuti arus. Sendu dan
mengangkat senyum kecil. Coba saja kita berjumpa kala itu. Pasti aku takkan
memanggilmu. Kau tahu kenapa? Karena aku hanya ingin sosokmu, bukan suaramu.
Jika Alloh memberi lebih, mungkin akan ada percakapan.
Tuan, awal Maret. Sedikit lagi
April, aku masih mengingat begitu pekat. Sampai aku lupa seharusnya sudah hilang
guratan itu. Duatigabelas dan kini duaenambelas, terima kasih
untuk sabarnya tahun yang masih mengingatkan perlahan lembaran masa lalu. Ini
bukan untuk dilupakan, tapi untuk dikenang dan menjadi kisah klasik.
Kelak jika kita berjumpa, jangan kau
palingkan hadapanmu dari tatapanku. Mungkin, dengan cara itulah aku bisa menahan
air yang akan kusekat dari mata pandaku.
Maret
suasana sebelas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar