Jumat, 18 Maret 2016

Anginnya Kota di Bumi



Sudah kali kedua aku berkunjung ke tempatmu, tempat yang dulu kuidamkan bahwa kelak kau akan membawaku ke tempat yang sama. Dulu sekali. Ketika masih denganmu. Membolakbalikan kenangan yang sepantasnya tak usah kulakukan. Maaf jika rasaku masih tertinggal bersamamu. Acap kali kutegarkan apa yang seharusnya sudah terjadi. Tapi, ntahlah kau lagilagi.

Jum’at, aku sampai tepat di portalmu. Kuhentikan gas kendaraan, agarku bisa menikmati semilirnya angin di wilayahmu. Segar. Nikmat. Dan membangkitkan kenangan. Ah…
Tokotoko berjajar dengan semerautnya, kiri kanan semuanya menjajakan apa yang bisa dipertahankan dalam hidup. Menggaduhkan suasana, tapi itulah kesan pertama yang kudapat saat lintasi tempatmu.

            Maaf, bukan maksudku untuk terus mengintaimu, ini hanya kebetulan saja. Kulewat, lalu kusapa tempatmu. Ternyata aku terkesima dengan suasana sore, guratan awan legam membuatku mengikuti arus. Sendu dan mengangkat senyum kecil. Coba saja kita berjumpa kala itu. Pasti aku takkan memanggilmu. Kau tahu kenapa? Karena aku hanya ingin sosokmu, bukan suaramu. Jika Alloh memberi lebih, mungkin akan ada percakapan.

            Tuan, awal Maret. Sedikit lagi April, aku masih mengingat begitu pekat. Sampai aku lupa seharusnya sudah hilang guratan itu. Duatigabelas dan kini duaenambelas, terima kasih untuk sabarnya tahun yang masih mengingatkan perlahan lembaran masa lalu. Ini bukan untuk dilupakan, tapi untuk dikenang dan menjadi kisah klasik.

            Kelak jika kita berjumpa, jangan kau palingkan hadapanmu dari tatapanku. Mungkin, dengan cara itulah aku bisa menahan air yang akan kusekat dari mata pandaku.



Maret suasana sebelas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar