“Aki, aku mau Aki
lupakan kotak abu itu. Aki sudah tua, jangan meratapi kepedihan. Tidurlah, semoga
esok akan lebih indah dari kotak lusuh itu” gumam Zora ke Aki dalam hening.
Aki
terisak seraya meratapi kotak yang ada di tangannya, mengelus-elus dengan hati,
menciumi dengan birahi, namun harus menguburnya dengan kenangan. Dulu ia gagah,
tapi semenjak perempuan yang ia eluhkan menjauh, hatinya bertambah tua. Lagu
yang ia lantunkan begitu menyayat bulu kuduk, beryanyi tanpa mengeluarkan kata,
hanya lelehan dari dua bola matanya yang mengendur. Ia bernyanyi bersama kotak
abu dalam genggamnya.
Kusebut
namanya Aki, lelaki paruhbaya yang menghabiskan masa tuanya mengayun kursi
goyang sebagai tunggangannya, sesekali ia memanggil namaku untuk mengitari
halaman luas di belakang. Rumah kami kecil, hanya berukuran tujuh puluh lima
kali seratus lima puluh meter, banyak wewangian melati di halaman belakang. Itulah
pinta Rondang sebelum harinya tiba.
Enam
belas hari yang lalu, Rondang meminta Tuhan untuk menutup fajarnya. Manusia
hanya bisa memohon, tapi Tuhanlah yang berkehendak. Tuhan tak khobulkan pinta
Rondang, hingga akhirnya Rondanglah yang mengaitkan diri di belakang rumah
tuanya. Dengan bantuan Aki.
Sebelum
Rondang lenyap, ia titipkan selendang hijau pekat dan sebuah kotak abu. Di dalam
kotak ada sebuah surat dan kotak musik kecil, musik yang berirama Jawa dengan
suara Rondang yang melantun, syahdu. Tapi aku tidak pernah paham akan apa yang
Rondang ucapkan.
***
Aki
pernah tiga kali berbicara kepadaku setelah kejadian itu, ia hanya ingin
merenung dalam kamar tanpa kutahu sebabnya. Pembicaraan pertama, ketika Aki
meminta maaf kepadaku, aku tak tahu apa yang terjadi. Pembicaraan kedua, aku diminta
Aki untuk merawat pohon waru di halaman belakang. Dan, baru tadi pembicaraan ketiga
yang Aki lalukan padaku. Aki memintaku mengajaknya mengitari halaman belakang.
Kursi
roda berjalan penuh dengan kehati-hatian, melangkahkan kaki selangkah demi
selangkah, hingga sampai pada titik terakhir. Sebuah pohon rindang yang kami
tuju. Di sana terdapat sebuah kursi panjang dengan meja kecil sebagai
pemanisnya. Kursi yang terbuat dari kayu jati dicat putih metalik, dengan empat
buah kaki yang kokoh menyokong tubuh gembulku. Kuhirup aroma tanah yang basah,
bersih dari hamparan dedaunan yang berjatuhan. Menenangkan dan membuat hati
ingin berucap tegas pada alam, kenapa aku di sini? Ntahlah.
Aki
termenung sesaat. Meresapi hijaunya pepohonan yang masuk, sebelum memulai
pembicaraan. Daun jatuh tepat di depan tangan Aki yang menengadah, senyum kecil
kulihat dari raut muka yang mulai mengendur. Baru kali pertama kulihat Aki
melebarkan bibir tipisnya, setelah sebelas bulan yang lalu kulihat senyum tipis
itu, ketika kami berkumpul bersama Rondang.
“Zora, Aki sudah tua. Rasanya Tuhan ingin Aki berada
dengan nadiNya, di rumahNya. Aki titip pohon ini” ucap Aki dengan pelan sambil
memandang pohon waru di hadapannya.
“Ini bukan tentang pohon! Kenapa Aki begitu
menyalahkan diri sendiri? Bukankah Aki yang terus menasehati Zora supaya
bersyukur tiap waktu, tidak membeban!! Kemana kata-kata itu ki, kemana?” Zora
menyekat air matanya.
“Aki berdosa, mungkin dengan cara memohon Aki bisa
lenyap” balas Aki.
“Tapi, Tuhan mencintai Aki, sekalipun berdosa, Tuhan
pemaaf. Tundukkan pandangan Aki ke Tuhan”. Pertegas Zora ke Aki.
Aki
menangis dengan harunya. Kini, Zora tahu kenapa Aki ingin ia yang menjaga pohon
waru itu, Zora tahu bahwa pohon itulah yang membuat Aki diam seribu bahasa,
Zora tahu bahwa Aki lah yang membantu Rondang untuk mengaitkan tambang ke pohon,
dan Zora pun tahu kenapa Rondang meninggal tergantung di pohon waru belakang
rumah mereka.
Semua
tentang kasih sayang yang tidak bisa dibagi, Rondang menggantungkan diri karena
cintanya terbagi dengan perempuan lain. Aki pun mendukung keputusan Rondang. Karena,
perempuan lain itu adalah masa lalu Aki yang tidak bisa ia lepaskan.
Sekian.
Akhir Maret 2016