Jumat, 08 Mei 2015
Cakrawala Bayangan
Ketika sapaan itu ada
dalam benakku, baru saja cakrawala mengibarkan semangat paginya. Aku
berlari menuju sapaan yang semakin bising menghantuiku. Riuh kicaunya sapaan
itu memekakan telingaku. Ah aku benci hal ini.
Tuhan, Aku mau hidup
sekali saja penuh dengan keheningan. Tanpa bising gonggongan orang lain. “doa
Akmi dalam benak”, kala itu akmi sedang asyik bercengkrama dengan ribuan kata
untuk disusun menjadi kalimat indah di kamarnya.
Aku benci berada dalam
keluarga ini, Ibu tak pernah menemaniku walau sejam pun, Ayahku telah lama
meninggalkan Ibuku, kini aku sendiri, ya sendiri. Aku rindu sosok Ayah tapi aku
benci Ayahku. Mereka bukan lagi seperti orang tuaku, mereka hanyalah dua sosok bayangan
yang terus menghantuiku.
Ibuku seorang mucikari
yang setiap malam harus keluyuran mencari bercak rupiah, itulah yang
menyebabkan kenapa Ayah meninggalkan Ibuku. Aku sering berdoa pada Tuhanku,
mengadu, bahkan menangis di hadapan sajadah. Entah apa yang ada di pikiran Tuhanku
ia tak kunjung mengabulkan doaku untuk mati saja sekalian! Bunuh aku Tuhan jika
ini memang cara-Mu, rampok semua kebahagiaanku jika ini memang jalan-Mu. Aku
akan jauh lebih bahagia dibandingkan harus berada di goa yang gelap ini.
Ah Tuhan, aku marah pada
manusia di dunia ini, mereka tak mengerti keadaanku, alhasil mereka menjauhiku
bahkan tak menegurku sedikitpun. Apa engkau sama dengan mereka? Kini Aku
sendiri Tuhan, berjalan dalam gelapnya lorong waktumu, Aku tetap kuat namun
jiwaku rapuh Tuhan.
Kini aku hanya punya engkau
Tuhan, tempat berbagi segala dukaku yang tak pernah berkesudahan. Tuhan ajari
aku untuk membenci Ibu dan Ayahku, sekarang Tuhan, sekarang!!!
Enambelas tahun Aku
hidup dalam kubangan yang tak berkesudahan ini, enambelas tahun pula aku terus
menangis dalam sajadahku, entahlah kuhadapkan wajahku kepada-Mu atau kuhadapkan
pada wajah yang lain, Tuhan.
Aku memutuskan untuk
pergi dari rumah, setelah kejadian yang membuatku teringat hingga sampai saat
ini. Ya, kejadian ketika aku melarikan diri dari rumah hingga akhirnya aku
dipukuli oleh Ibuku sendiri, trauma dan sesak ini masih kurasakan. Sekarang
usiaku menginjak duapuluhenam tahun, beberapa tahun yang lalu kulalui dengan
kehidupan baruku.
Tanpa sosok Ibu dan
Ayah. Aku berkelana mencari kebahagiaanku sendiri. Kini aku mulai merasa hidup
dari beberapa tahun yang lalu, aku memutuskan pergi ke pulau seberang,
mengabdikan diriku pada pendidikan. Kurasa dahulu Ibu dan Ayahku tak
berpendidikan, itu sebabnya mengapa mereka seperti itu. Ayahku makelar judi
tersohor di kampungku dulu.
Aku tinggal di daerah
sangat jauh dari perkotaan, bahkan kendaraan pun sulit untuk ditemui. Nama
desaku, desa Blitor, pedalaman yang terpinggirkan, bagian dari Ibukota
Kalimantan. Di sini sangat asri, pepohonan menari-nari dalam jemari,
burung-burung berkicau tiap pagi dan petang, tiupan angin berhembus menusuk
tulang rusuk yang paling rapuh sekalipun. Aku merasakan jauh lebih baik kini,
dan tak ingin kukotori dengan ingatan yang dulu.
Para penduduknya masih
memegang erat tradisi, tiap pagi mereka sembahyang di tempat yang sudah
disediakan, meskipun sederhana dan tak terurus. Para anak kecil pun membantu
Ibunya untuk menjunjung sesembahann yang dibawa, entah itu berupa bunga-bunga
ataupun makanan daerah. Pendidikan jauh dari kata mewah, yang ada hanya kata seadanya.
Tuhan Aku bebas, ya, Aku
bebas.
Rabu, 06 Mei 2015
Bagian kedua: Fototustel Gingsul Kanan
Assalamualaikum gingsul, lama tak bersua
denganmu. Inginku bercengkrama dengan kesanksian untuk bergulat di hadapanmu.
Kukira dirimu menghilang dalam imajiku, ternyata kau kembali ke hadapanku. Yaa
kini kau kembali. Bukan saja untuk menemuiku, tapi untuk tetap berada dalam
llingkaran yang sama, lingkaran yang membuat kita terus berhadapan.
Baru
saja sore tadi aku hadapkan linangan bola mataku tepat segaris lurus denganmu,
bukan inginku yang terus menatapmu. Tapi, diam tingkahmu yang ingin membuatku
berada dekat di garis lurus itu. Ah tidak, senyummu membuatku semakin tersipu
dalam imajiku. Merongrong dan mengaum dalam batinku. Hanya aku yang tahu auman
itu.
Diammu
seperti manusia yang bertasbih, tutur katamu seakan butiran embun yang disinari
kilaunya sang surya, yaa tepat di bibirmu. Kurasakan hangatnya sapaanmu. Tenang
dan syahdu. Gingsul itu menandakan akan adanya senyum tulus yang menghiasi
tutur katamu. Yaa kau pemilik gingsul itu.
Kubuka
dengan guyonan hangat yang memekakan telinga, tanpa kupandangi dirimu dan tanpa
aku lihat gingsul itu. Aku hanya ingin melihat gingsul itu ketika mulai
terjamah pada sudut yang tak bisa ditawar, yaa itu adalah rinduku.
Jika
kini semangatku belum sepenuhnya ada diraga dan rohku, maka gingsul itulah yang
membuatku menjadi sepenuhnya. Ketika nama hanya sebuah panggilan, maka raga dan
roh inilah yang seharusnya kau panggil untuk aku terus di hadapanmu. Dalam mencari
tujuan hidup yang sesungguhnya dan untuk terus berhadapan segaris lurus
denganmu.
Terus
berada di hadapanmu membuatku semakin tertawa lebar dan terus tersenyum. Dengan
datarnya tutur katamu tetap saja membuatku tersipu senyum sendiri, menjadi seperti
tak berakal lantas hilang dan lenyap dalam lamunan. Ah, kau membangunkan
lamunan itu dengan sejuta tanya tentang siapa kita,mengapa Alloh
menciptakan, apa tujuan hidup ini, dan
mengapa kita hidup di dunia!
Sejuta tanyamu membuatku berpikir sangat keras,
bahkan tak sempat terpikirkan, dan tak sempat terjawab. Yang ada hanya lamunan
tentang gingsul yang sangat amis. Aku bahagia gingsul, melihatmu
berkotak-kotak biru keabuan pagi ini,dengan balutan jeans dan jaket coklat
keabuan yang melilit tubuhmu, serta ransel yang menggantung di pundakmu*manusia ketika*
Beginilah cara rohku mengungkapkan kekaguman
ini, kekaguman pada sosok gingsulmu. Jangan kau benci ataupun murka terhadapku,
karena ini adalah ruang kebebasan, untukku terus berimaji dalam khayalan
yang sungguh membuatku tergelitik untuk terus mengetik kata-kata ini.
Terima aksih kepada Mahacinta yang telah
mempertemukan kita saling berhadap-hadapan pada ikatan persaudaraan sesama
Islam.
Avonturir: orang yang suka melakukan
petualangan
Gingsul kedua, Tiga Mei 2015
Langganan:
Postingan (Atom)