Ketika sapaan itu ada
dalam benakku, baru saja cakrawala mengibarkan semangat paginya. Aku
berlari menuju sapaan yang semakin bising menghantuiku. Riuh kicaunya sapaan
itu memekakan telingaku. Ah aku benci hal ini.
Tuhan, Aku mau hidup
sekali saja penuh dengan keheningan. Tanpa bising gonggongan orang lain. “doa
Akmi dalam benak”, kala itu akmi sedang asyik bercengkrama dengan ribuan kata
untuk disusun menjadi kalimat indah di kamarnya.
Aku benci berada dalam
keluarga ini, Ibu tak pernah menemaniku walau sejam pun, Ayahku telah lama
meninggalkan Ibuku, kini aku sendiri, ya sendiri. Aku rindu sosok Ayah tapi aku
benci Ayahku. Mereka bukan lagi seperti orang tuaku, mereka hanyalah dua sosok bayangan
yang terus menghantuiku.
Ibuku seorang mucikari
yang setiap malam harus keluyuran mencari bercak rupiah, itulah yang
menyebabkan kenapa Ayah meninggalkan Ibuku. Aku sering berdoa pada Tuhanku,
mengadu, bahkan menangis di hadapan sajadah. Entah apa yang ada di pikiran Tuhanku
ia tak kunjung mengabulkan doaku untuk mati saja sekalian! Bunuh aku Tuhan jika
ini memang cara-Mu, rampok semua kebahagiaanku jika ini memang jalan-Mu. Aku
akan jauh lebih bahagia dibandingkan harus berada di goa yang gelap ini.
Ah Tuhan, aku marah pada
manusia di dunia ini, mereka tak mengerti keadaanku, alhasil mereka menjauhiku
bahkan tak menegurku sedikitpun. Apa engkau sama dengan mereka? Kini Aku
sendiri Tuhan, berjalan dalam gelapnya lorong waktumu, Aku tetap kuat namun
jiwaku rapuh Tuhan.
Kini aku hanya punya engkau
Tuhan, tempat berbagi segala dukaku yang tak pernah berkesudahan. Tuhan ajari
aku untuk membenci Ibu dan Ayahku, sekarang Tuhan, sekarang!!!
Enambelas tahun Aku
hidup dalam kubangan yang tak berkesudahan ini, enambelas tahun pula aku terus
menangis dalam sajadahku, entahlah kuhadapkan wajahku kepada-Mu atau kuhadapkan
pada wajah yang lain, Tuhan.
Aku memutuskan untuk
pergi dari rumah, setelah kejadian yang membuatku teringat hingga sampai saat
ini. Ya, kejadian ketika aku melarikan diri dari rumah hingga akhirnya aku
dipukuli oleh Ibuku sendiri, trauma dan sesak ini masih kurasakan. Sekarang
usiaku menginjak duapuluhenam tahun, beberapa tahun yang lalu kulalui dengan
kehidupan baruku.
Tanpa sosok Ibu dan
Ayah. Aku berkelana mencari kebahagiaanku sendiri. Kini aku mulai merasa hidup
dari beberapa tahun yang lalu, aku memutuskan pergi ke pulau seberang,
mengabdikan diriku pada pendidikan. Kurasa dahulu Ibu dan Ayahku tak
berpendidikan, itu sebabnya mengapa mereka seperti itu. Ayahku makelar judi
tersohor di kampungku dulu.
Aku tinggal di daerah
sangat jauh dari perkotaan, bahkan kendaraan pun sulit untuk ditemui. Nama
desaku, desa Blitor, pedalaman yang terpinggirkan, bagian dari Ibukota
Kalimantan. Di sini sangat asri, pepohonan menari-nari dalam jemari,
burung-burung berkicau tiap pagi dan petang, tiupan angin berhembus menusuk
tulang rusuk yang paling rapuh sekalipun. Aku merasakan jauh lebih baik kini,
dan tak ingin kukotori dengan ingatan yang dulu.
Para penduduknya masih
memegang erat tradisi, tiap pagi mereka sembahyang di tempat yang sudah
disediakan, meskipun sederhana dan tak terurus. Para anak kecil pun membantu
Ibunya untuk menjunjung sesembahann yang dibawa, entah itu berupa bunga-bunga
ataupun makanan daerah. Pendidikan jauh dari kata mewah, yang ada hanya kata seadanya.
Tuhan Aku bebas, ya, Aku
bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar