Kamis, 15 Oktober 2015

Nenekku Pulang Engkongku Lebih Dulu


Oktober Sembilan duaribulimabelas. Tepat empat puluh hari setelah keberangkatan di akhir Agustus. Lama tidak bersentuh dengan wajah paruhbaya itu. Sosok yang kuat meskipun telah ditinggal pergi. Bertahan, menuju ridhonya Gusti Alloh. Mengais receh demi si bungsu yang terlahir begitu cantik. Bersama keduanya mereka tinggal.

Seharusnya ada tiga manusia di gubuk itu. Hanya saja waktu begitu cepat memutar arloji tanpa harus memikirkan masa depan. Meninggalkan kenangan, lantas berjalan menuju ruang kosong penuh harapan baru. Nahkoda berubah menjadi perempuan-perempuan kuat sepertimu. Mengarungi kerikil yang runcing.

Tujuhpuluhtujuh kau melahirkan anak pertamamu yang kini menjadi Ibuku, ntah berapa puluh tahun dirimu bersama sang nahkoda yang telah hilang. Dulu. Isak tangis mewarnai hari itu, yaa tepat duapuluhsembilan Desember kau memohon izin pada kami untuk kembali pada Mahasuci. Mahasegala juga Sang Maha Pencipta. Terima kasih

Rumah sakit itu menjadi kenangan yang tak mungkin bisa dilupakan. Modernland. Kami memberikan tempat terbaik, tapi Gusti Alloh punya tempat yang lebih baik dari tempat itu. Tidak berselang lama sebelum engkau pamit. Masih kental dalam ingatan di lift yang membawamu pada ruang ICU kau masih mengedipkan matamu, kau tanya diriku lalu kau berikan senyuman itu.

Kukira itu pukul sepuluh lebih ntah berapa menit, tapi itu sudah larut malam. Sesampainya di ruangmu tidak sembarang orang bisa masuk seenaknya. Kusebut itu kabel yang menempel hangat dalam tubuhmu. Menandakan bahwa kau masih bernafas untuk mencintai kami. Keluargamu.

Tidak sempat aku masuk ke ruangmu kala itu. Belum genap sehari kau di ruangmu, tapi Alloh punya rencana yang sungguh Mahadahsyat. Tepat shubuh kau sudah tiada. Sekian.

Kau tahu siapa yang paling sedih? Yaa mereka adalah perempuan-perempuanmu. Mereka menangis sebisa mereka menahan air mata agar tidak jatuh di pipimu. Mereka kehilangan nahkoda yang serba bisa. Mereka kehilangan tulang punggung. Mereka kehilangan sebelah rusuk. Dan mereka kehilangan jasadmu selama-lamanya.

Tumpah ruah gubuk itu didatangi manusia yang mencintaimu, mereka sempat tak percaya. Padahal kau seminggu lalu sehat meskipun belum pulih. Memang kau sempat keluar masuk Rumah Sakit tapi itu beberapa minggu yang lalu. Jadi kukira itu sudah jauh dari harimu tiba.

Kau tahu bagaimana perasaan gadis bungsumu? Ia merasa kehilangan. Kau harus tahu itu. Aku kira perempuan-perempuanmu tegar tapi tidak, mereka rapuh. Mereka kehilangan sedalam-dalamnya. Meskipun mereka tahu semua kan kembali padaNya.

Desember oh Desember. Rasanya pilu jika harus mengingat hari itu. Ahh, sudahlah tak usah diperdebatkan Desember itu. Sampai tibalah saat pengkafanan jasadmu yang kukira engkau tersenyum manis. Kuabadikan dalam kamera ponselku lantas kukirim pada si bungsumu. Itu yang terakhir. Kini kau sudah bahagia di sisi Gusti Alloh, kau tersenyum begitu semeringah bersama malaikatNya juga bidadariNya.

Tibalah saat mengebumikanmu, kereta terakhirmu sudah disiapkan sejak pagi buta. Tenda merah kehijauan menghiasi latarmu. Bangku-bangku berjajar rapih menyambut manusia yang mencintaimu. Mereka telah siap mengantarkanmu dikeabadian. Mereka mengiringi rodaempat yang membawa jasadmu juga membawa perempuan-perempuanmu. Terima kasih untuk yang terakhir.

Aku lupa kau sudah mendaftar menjadi calon tamu Alloh di duaribulimabelas. Tapi, tidak sempat kesampaian. Kau lebih dulu pamit pulang, kau lebih dulu ke rumah AllohMu, kau lebih dulu mendahului perempuanmu yang pernah kau cumbu hingga terlahirlah si sulung beserta adik-adiknya.

Sudah waktunya keberangkatan itu tiba, kau tak lantas menemani perempuanmu. Ia hanya seorang diri, tapi kau tahu? Ia bersama rohmu yang pernah menemaninya berpuluh-puluh tahun. Ada kesedihan yang hinggap dalam benak perempuanmu, kutahu itu. Pasti.

Waktu terus berjalan hingga akhirnya perempuanmu tiba di rumah Gusti Alloh, yaa KabahNya. Entah bagaimana kehidupan di sana, tapi kuharap perempuan itu bertemu deganmku walau hanya sosok bayangmu. Kuharap.

InsyaAlloh semoga menjadi mabrur dan mabruroh, dicintai Alloh juga manusia.

Ketikan ini untuk perempuan yang tegar, juga untuk engkong yang sudah berani mencintai Nenekku hingga JannahNya.






Tigabelas Oktober limabelas
Cucu pertama yang begini saja.


Rabu, 07 Oktober 2015

Satu Tambah Satu Sama Dengan Botol

Ada kebencian yang hinggap dalam kerongkongan leherku. Tak sempat terucap. Sosok yang mencungkil tangan diteriknya senyum Ibukota. Pada mereka yang mengais receh demi iler yang mengotori dua bibir manis itu. Benci pada kejamnya Ibukota. Tidak adil. Jika tidak seperti itu akankah kita sama? Tidak. Mungkin itulah caranya.

Berat rasanya, lelaki paruhbaya dengan pakaian seadanya, semangat yang menggebu untuk memungut botol plastikdari tumpukan receh yang tidak diinginkan oleh si pemilik kekuasaan. Malu? Tidak! Jika tidak seperti itu dapur tidaklah mengepul asap. Ahhh

Ternyata kau tidak sendiri, ada sosok perempuan hebat yang juga menyemangatimu, bahkan ia lebih bersemangat dari dirimu. Yaa perempuan itu, mengorek sisasisa. Aku? aku hanya penonton dalam teatron ini, menikmati semua yang ada tanpa memberikan solusi. Kau tahu bagaimana rasanya jadi penonton? Hanya menikmati, yaa menikmati! Damn!

Nasib tak sama, hidup kadang tidak adil, cenderung keras dan bahkan tajamnya melebihi sayatan pisau di dapurmu. Jika Alloh menciptakan manusia berbeda kenapa harus kau yang dibedakan? Kenapa bukan dia, mereka atau bahkan aku? kau tahu? ternyata aku juga berbeda, berbeda dari mereka yang menganggapku remeh. Jadi kita sama hei manusia, kita rendah.

Sempat tertegun melihatmu seperti itu, hei akiaki tua, aku tak berdaya pada keadaan, aku hanya bisa diam. Semoga Alloh mengirimkan malaikatNya untuk mau menjagamu, sekotor apapun itu. Tenang saja, Alloh tidak pernah salah dalam tiap rencanaNya. Mungkin engkau lebih mulia daripada mereka sang penguasa receh, engkau lebih mulia dari sang penguasa teknik, bahkan mungkin juga engkau lebih mulia dariku, yaa dariku yang lebih kotor bahkan cenderung menjijikkan.

Terima kasih untuk doa hari ini, karena kita samasama belajar bersyukur atas apa yang kita pijak. Atas tetesan air yang tidak begitu jernih untuk ditenggak.



Trotoar Ibukota
06 Oktober 2015


Ini Sudah Benar


Hallo manusia, masih semangat membaca ketikan ini? Terima kasih.

*hening* Ingin kudekap dan menagis di pangkuanmu sampai aku tertidur bagai masa kecilku dulu. Yaa itu adalah salah satu lirik yang baru saja berputar memenuhi daftar laguku. Ibuku sayang masih terus berjalan walau tapak kaki penuh darah penuh nanah. Tak mampu kumembalas Ibu. Ibu

Rasanya klasik jika harus membahas tentang Ibu, mulai dari sekolah dasar hingka bangku yang didewakan pemerintah pasti sering kali berputar dengan kata –Ibu. Aku tidak pernah bosan untuk mengucap kata Ibu. Ibu. Ibu. Dan Ibu.

Entah bagaimana caranya kusisipkan doa teragung pada Sang Mahacinta untuk memuliakanmu, aku sisipkan semoga hidup di dunia dan akhiratmu dimuliakan. Bagaimanapun caranya! Tiap kuingat sosokmu ada saja alasan untuk terus memohon atas namamu. Aku kacau tanpamu. Ntah bagaimana nanti!


Indah parasmu membuatku semakin mengagung-agungkan namamu, aku bertekuk lutut pada sosokmu. Semua yang ada di dalam dirimu. Itu sudah mulia. Bagiku. Semua sudah benar. Ibu. 

Jumat, 02 Oktober 2015

Aku itu Debu, Kamu?

Yaa Alloh, cukupilah aku dengan rezeki yang halal, sehingga aku terhindar dari yang haram. Kayakanlah aku dengan kenikmatan-Mu, sehingga aku tidak meminta kepada selain-Mu. (HR. At – Tirmizi)

Dengan setiap hari mencatat rasa syukur atas kebaikan yang diterima, orang menjadi lebih teratur berolahraga, lebih sedikit mengeluhkan gejala penyakit, dan merasa secara keseluruhan hidupnya lebih baik.


Dibandingkan dengan mereka yang suka berkeluh kesah setiap hari, orang yang mencatat daftar alasan yang membuat mereka berterima kasih juga merasa bersikap lebih menyayangi, memaafkan, gembira, bersemangat, dan berpengharapan baik mengenai masa depan mereka.