Oktober Sembilan
duaribulimabelas. Tepat empat puluh hari setelah keberangkatan di akhir
Agustus. Lama tidak bersentuh dengan wajah paruhbaya itu. Sosok yang kuat
meskipun telah ditinggal pergi. Bertahan, menuju ridhonya Gusti Alloh. Mengais
receh demi si bungsu yang terlahir begitu cantik. Bersama keduanya mereka
tinggal.
Seharusnya ada tiga
manusia di gubuk itu. Hanya saja waktu begitu cepat memutar arloji tanpa harus
memikirkan masa depan. Meninggalkan kenangan, lantas berjalan menuju ruang
kosong penuh harapan baru. Nahkoda berubah menjadi perempuan-perempuan kuat
sepertimu. Mengarungi kerikil yang runcing.
Tujuhpuluhtujuh kau
melahirkan anak pertamamu yang kini menjadi Ibuku, ntah berapa puluh tahun
dirimu bersama sang nahkoda yang telah hilang. Dulu. Isak tangis mewarnai hari
itu, yaa tepat duapuluhsembilan Desember kau memohon izin pada kami untuk kembali
pada Mahasuci. Mahasegala juga Sang Maha Pencipta. Terima kasih
Rumah sakit itu menjadi
kenangan yang tak mungkin bisa dilupakan. Modernland. Kami memberikan tempat
terbaik, tapi Gusti Alloh punya tempat yang lebih baik dari tempat itu. Tidak
berselang lama sebelum engkau pamit. Masih kental dalam ingatan di lift yang
membawamu pada ruang ICU kau masih mengedipkan matamu, kau tanya diriku lalu
kau berikan senyuman itu.
Kukira itu pukul
sepuluh lebih ntah berapa menit, tapi itu sudah larut malam. Sesampainya di
ruangmu tidak sembarang orang bisa masuk seenaknya. Kusebut itu kabel yang
menempel hangat dalam tubuhmu. Menandakan bahwa kau masih bernafas untuk
mencintai kami. Keluargamu.
Tidak sempat aku masuk
ke ruangmu kala itu. Belum genap sehari kau di ruangmu, tapi Alloh punya
rencana yang sungguh Mahadahsyat. Tepat shubuh kau sudah tiada. Sekian.
Kau tahu siapa yang
paling sedih? Yaa mereka adalah perempuan-perempuanmu. Mereka menangis sebisa
mereka menahan air mata agar tidak jatuh di pipimu. Mereka kehilangan nahkoda
yang serba bisa. Mereka kehilangan tulang punggung. Mereka kehilangan sebelah
rusuk. Dan mereka kehilangan jasadmu selama-lamanya.
Tumpah ruah gubuk itu
didatangi manusia yang mencintaimu, mereka sempat tak percaya. Padahal kau
seminggu lalu sehat meskipun belum pulih. Memang kau sempat keluar masuk Rumah
Sakit tapi itu beberapa minggu yang lalu. Jadi kukira itu sudah jauh dari harimu
tiba.
Kau tahu bagaimana
perasaan gadis bungsumu? Ia merasa kehilangan. Kau harus tahu itu. Aku kira
perempuan-perempuanmu tegar tapi tidak, mereka rapuh. Mereka kehilangan
sedalam-dalamnya. Meskipun mereka tahu semua kan kembali padaNya.
Desember oh Desember. Rasanya
pilu jika harus mengingat hari itu. Ahh, sudahlah tak usah diperdebatkan
Desember itu. Sampai tibalah saat pengkafanan jasadmu yang kukira engkau tersenyum
manis. Kuabadikan dalam kamera ponselku lantas kukirim pada si bungsumu. Itu
yang terakhir. Kini kau sudah bahagia di sisi Gusti Alloh, kau tersenyum begitu
semeringah bersama malaikatNya juga bidadariNya.
Tibalah saat
mengebumikanmu, kereta terakhirmu sudah disiapkan sejak pagi buta. Tenda merah
kehijauan menghiasi latarmu. Bangku-bangku berjajar rapih menyambut manusia
yang mencintaimu. Mereka telah siap mengantarkanmu dikeabadian. Mereka
mengiringi rodaempat yang membawa jasadmu juga membawa perempuan-perempuanmu.
Terima kasih untuk yang terakhir.
Aku lupa kau sudah
mendaftar menjadi calon tamu Alloh di duaribulimabelas. Tapi, tidak sempat kesampaian.
Kau lebih dulu pamit pulang, kau lebih dulu ke rumah AllohMu, kau lebih dulu
mendahului perempuanmu yang pernah kau cumbu hingga terlahirlah si sulung beserta
adik-adiknya.
Sudah waktunya
keberangkatan itu tiba, kau tak lantas menemani perempuanmu. Ia hanya seorang
diri, tapi kau tahu? Ia bersama rohmu yang pernah menemaninya berpuluh-puluh
tahun. Ada kesedihan yang hinggap dalam benak perempuanmu, kutahu itu. Pasti.
Waktu terus berjalan
hingga akhirnya perempuanmu tiba di rumah Gusti Alloh, yaa KabahNya. Entah
bagaimana kehidupan di sana, tapi kuharap perempuan itu bertemu deganmku walau
hanya sosok bayangmu. Kuharap.
InsyaAlloh semoga
menjadi mabrur dan mabruroh, dicintai Alloh juga manusia.
Ketikan ini untuk
perempuan yang tegar, juga untuk engkong yang sudah berani mencintai Nenekku
hingga JannahNya.
Tigabelas
Oktober limabelas
Cucu pertama
yang begini saja.