Rabu, 07 Oktober 2015

Satu Tambah Satu Sama Dengan Botol

Ada kebencian yang hinggap dalam kerongkongan leherku. Tak sempat terucap. Sosok yang mencungkil tangan diteriknya senyum Ibukota. Pada mereka yang mengais receh demi iler yang mengotori dua bibir manis itu. Benci pada kejamnya Ibukota. Tidak adil. Jika tidak seperti itu akankah kita sama? Tidak. Mungkin itulah caranya.

Berat rasanya, lelaki paruhbaya dengan pakaian seadanya, semangat yang menggebu untuk memungut botol plastikdari tumpukan receh yang tidak diinginkan oleh si pemilik kekuasaan. Malu? Tidak! Jika tidak seperti itu dapur tidaklah mengepul asap. Ahhh

Ternyata kau tidak sendiri, ada sosok perempuan hebat yang juga menyemangatimu, bahkan ia lebih bersemangat dari dirimu. Yaa perempuan itu, mengorek sisasisa. Aku? aku hanya penonton dalam teatron ini, menikmati semua yang ada tanpa memberikan solusi. Kau tahu bagaimana rasanya jadi penonton? Hanya menikmati, yaa menikmati! Damn!

Nasib tak sama, hidup kadang tidak adil, cenderung keras dan bahkan tajamnya melebihi sayatan pisau di dapurmu. Jika Alloh menciptakan manusia berbeda kenapa harus kau yang dibedakan? Kenapa bukan dia, mereka atau bahkan aku? kau tahu? ternyata aku juga berbeda, berbeda dari mereka yang menganggapku remeh. Jadi kita sama hei manusia, kita rendah.

Sempat tertegun melihatmu seperti itu, hei akiaki tua, aku tak berdaya pada keadaan, aku hanya bisa diam. Semoga Alloh mengirimkan malaikatNya untuk mau menjagamu, sekotor apapun itu. Tenang saja, Alloh tidak pernah salah dalam tiap rencanaNya. Mungkin engkau lebih mulia daripada mereka sang penguasa receh, engkau lebih mulia dari sang penguasa teknik, bahkan mungkin juga engkau lebih mulia dariku, yaa dariku yang lebih kotor bahkan cenderung menjijikkan.

Terima kasih untuk doa hari ini, karena kita samasama belajar bersyukur atas apa yang kita pijak. Atas tetesan air yang tidak begitu jernih untuk ditenggak.



Trotoar Ibukota
06 Oktober 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar