Ada kebencian yang hinggap dalam kerongkongan
leherku. Tak sempat terucap. Sosok yang mencungkil tangan diteriknya senyum
Ibukota. Pada mereka yang mengais receh demi iler yang mengotori dua bibir
manis itu. Benci pada kejamnya Ibukota. Tidak adil. Jika tidak seperti itu
akankah kita sama? Tidak. Mungkin itulah caranya.
Berat rasanya, lelaki paruhbaya dengan pakaian
seadanya, semangat yang menggebu untuk memungut botol plastikdari
tumpukan receh yang tidak diinginkan oleh si pemilik kekuasaan. Malu? Tidak!
Jika tidak seperti itu dapur tidaklah mengepul asap. Ahhh
Ternyata kau tidak sendiri, ada sosok
perempuan hebat yang juga menyemangatimu, bahkan ia lebih bersemangat dari
dirimu. Yaa perempuan itu, mengorek sisasisa. Aku? aku hanya penonton dalam teatron
ini, menikmati semua yang ada tanpa memberikan solusi. Kau tahu bagaimana
rasanya jadi penonton? Hanya menikmati, yaa menikmati! Damn!
Nasib tak sama, hidup kadang tidak adil,
cenderung keras dan bahkan tajamnya melebihi sayatan pisau di dapurmu. Jika
Alloh menciptakan manusia berbeda kenapa harus kau yang dibedakan? Kenapa bukan
dia, mereka atau bahkan aku? kau tahu? ternyata aku juga berbeda, berbeda dari
mereka yang menganggapku remeh. Jadi kita sama hei manusia, kita rendah.
Sempat tertegun melihatmu seperti itu, hei
akiaki tua, aku tak berdaya pada keadaan, aku hanya bisa diam. Semoga Alloh
mengirimkan malaikatNya untuk mau menjagamu, sekotor apapun itu. Tenang saja,
Alloh tidak pernah salah dalam tiap rencanaNya. Mungkin engkau lebih mulia
daripada mereka sang penguasa receh, engkau lebih mulia dari sang penguasa
teknik, bahkan mungkin juga engkau lebih mulia dariku, yaa dariku yang lebih
kotor bahkan cenderung menjijikkan.
Terima kasih untuk doa hari ini, karena kita samasama
belajar bersyukur atas apa yang kita pijak. Atas tetesan air yang tidak begitu
jernih untuk ditenggak.
Trotoar Ibukota
06 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar