Ada kalanya ketika
seseorang dalam hidupmu pergi, maka ia juga membawa sepotong hatimu. Dan bahkan
ia membawa lebih dari separuh hatiku.
Enam bulan berlalu, hanya berkutat mengenangmu. Mendendang lagu-lagu
patah hati. Membaca buku-buku patah hati. Hidupku jalan di tempat.
Aku tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati yang hanya
tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu sudah rusak, tidak utuh lagi.
Hening sejenak.
Aku tahu, pasti
ada bagian yang tidak masuk akal dalam perjalanan cinta. Tetapi lebih karena,
lihatlah percakapan ini, Aku tahu persis, separuh hatiku akan pergi. Persis
seperti sebuah daun berbentuk hati yang diiris paksa oleh belati tajam,
dipotong dua. Dan Aku sama sekali tidak bisa mencegahnya.
Aku menghela napas perlahan.
“Apakah, apakah di hatimu masih ada tersisa namaku.”
Hanyut tercerabut setahun silam, ketika hati itu terkoyok
separuhnya setahun lalu, Aku sudah bersumpah menguburnya dalam-dalam. Berjanji
berdamai mesti tak akan pernah kuasa melupakannya.
“Apakah…, apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.”
Mengharapkan kau
kembali. Terus. Hingga detik ini. Aku baru menyadari cinta bukan sekedar soal
menerima apa adanya. Cinta adalah harga diri. Cinta adalah rasionalitas
sempurna.
Jika kau memahami cinta adalah perasaan irasional, sesuatu yang
tidak masuk akal, tidak butuh penjelasan, maka cepat atau lambat, luka itu akan
kembali menganga. Kau dengan mudah membenarkan apa pun yang terjadi di hati,
tanpa tahu, tanpa memberikan kesempatan berpikir bahwa itu boleh jadi karena
kau tidak mampu mengendalikan perasaan tersebut. Tidak lebih. Tidak kurang.
Kenangan indah
bersamamu akan kembali memenuhi hari-hariku entah sampai kapan. Itu benar.
Membuatku sesak.
Biarlah Aku
menelannya bulat-bulat sambil sempurna menumbuhkan hati yang baru, memperbaiki
banyak hal, memperbaiki diri sendiri.
“Meskipun harus
dengan orang yang sama?”
00:27 21 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar