Senin, 23 November 2015

Rintihan Perempuan



Hallo hallo ollaaah. . .

Salam sayang untuk manusia yang sedang kaurindukan. Titip pesan untuknya bahwa aku juga mendoakannya. Medoakan agar kelak ia tak lagi memanggilku. Karena itu selingkuh namanya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia selingkuh adalah suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; suka menyeleweng;

Duh seram ya artinya hahaha. Sudah berapa kali kalian melakukan hal itu? Yaa, kuharap tidak sama sekali. Kuharap bukan kamu. Itumah orang lain. Kamu mah jujur. Iya kan, iya!

Sore kemarin aku baru saja berkunjung ke rumah kawan semasa sekolah dasar, kurang beberapa menit dari pukul lima di rumahnya. Mendung. Beranjak sepuluh menit duapuluh enampuluh dan waktunya adzan magrib. Allohuakbar allohuakbar allohuakbar.

Tunggu. Sebelum magrib ada perempuanperempuan yang datang. Ia adalah kawannya ketika di bangku menengah atas. Bersama tiga perempuan manis lainnya. Membawakan duabelas lingkar yang ditancapkan cahaya redupnya. Berharap ada sepenggal doa dan harapan yang dipanjatkan. Mengapa harus dengan lilin? Tanyaku dalam benak. Ah, sudahlah. Itu kebebasan. Tapi islam? Sudahlah.

Seusai tobat yang kami lakukan seraya memohon ampun atas sehari yang penuh khilaf. Sedikit bercengkrama dengan beberapa cangkir teh hangat yang disuguhkan. Nikmat. Penebus dinginnya raga untuk dirangkul. Memuncak hingga tawa tercipta.

Ada guyonan yang sempat mencibir teman di sampingku. Mengisyaratkan bagaimana perasaanmu ditikung? Sudah lebih baikkah? Sontak aku tertawa dengan cibiran yang hangat itu. Perempuan bermafela kebiruan itu langsung menjabarkan berapa pedihnya ditikung dengan sahabat sendiri. Duabelas tahun terjalin pertemanan antara meraka tapi nyatanya? Penjang lebar perempuan itu bercongor tanpa lelah, menjabarkan panjangnya jalan cerita penikaman yang ia rasakan. Sedih sih tapi apa mau dikata, sudah terjadi. Yasudahlah.

 Usailah, usaikan saja semua pertentangan di hati. Itu sudah baik. Itu milik orang lain, jangan kau pertikaikan. Hati belum berpihak padamu. Sabarkan nak. Hahahahaha.



Perempuan itu berperasaan, amat perasa.

Rabu, 18 November 2015

Rute Ambisi


Salam warga blogku, malam ini aku akan sedikit berbagi cerita tentang kebiasaan yang sampai saat ini aku lakukan. Entah itu sendiri, berdua, atau rombongan sekalipun. Tapi bisa dibilang jarang sekali aku melakukan kebiasaan ini rombongan. Maklum saja, waktulah yang memisahkan kami. Sama perihalnya ketika perpisahan itu *tsaaah.

Sepeda. Malam. Cahaya. Mungkin itu adalah tiga kata yang paling aku kagumi sampai datik terakhir aku mengetik narasi ini. Aku suka bersepeda mengitari kota kecil ini. Tidak terlalu panjang rute malam yang kutempuh, hanya beberapa kilometer saja. Yang penting aku dapat mengeluarkan ego ketika bersepeda.

Bagiku bersepeda adalah bentuk ekspresi dari apa yang kita ingin lakukan. Mengalahkan ego dari maruknya kuasa perasaan. Memaksa kaki untuk terus mengayuh kerasnya pedal. Jarijari yang memutar dalam hitungan detik dan hempasan dinginnya malam. Teriring alunan yang mendesah ditiap bisik telinga, tanpa tahu lirik apa yang sedang meronta dalam kepala. Ah kau sepedaku.

Malam begitu istimewa bagiku. Karena malamlah aku bisa keluyuran tanpa harus memikirkan haus dan panasnya terik mentari. Mengayuh pedal di malam hari seperti kau mengais harapan untuk sampai di tempat tujuan. Ketika kau mengayuh ada saja tujuan yang ingin kau tuju. Entah itu apa! Yang pasti kau terus mengayuh di atas pedalmu. Hingga titik terakhir. Yaa, kau telah sampai.

Rute terjauh yang pernah aku terjang hanya sampai Gelora Bung Karno atau biasa disingkat GBK. Pagipagi sekali sudah menyiapkan diri, padahal baru malamnya kami janjian untuk bersepeda. Terkadang yang mendadak itu pasti jadi. Aku hanya berdua dengan temanku, awalnya janjian bersepeda tetapi ketika ia sampai di gang pos dekat rumahku ia mengendarai motor -___- sontak aku kaget bukan kepalang, laah kok? Sudahlah abaikan itu. Ini ambisiku untuk sampai pada tempat itu.

 Aku berangkat bersama teman ketika kami duduk di bangku SMP, rumahnya dekat dengan gang rumahku. Aku mengayuh sepeda sampai kepayahan karena baru kali pertama jarak jauh hehehe. Ambisi yang membuatku yakin untuk sampai di tempat tujuan. Benar saja, aku sampai. Rasanya itu. Huuuuuu ah. Puas. Begitulah ambisiku untuk sampai.

 Rute selanjutnya adalah Taman Kota dua di Tangerang Selatan. Bersama sodarahsodarah tercinte mengayuh sepeda pagi hari. Rute sektor Bintaro juga sudah terjamah, bahkan sampai STAN sekalipun, lurus lurus dan lurus tidak tahu arah, rutenya pun sangat jauh bagiku, kami hanya berdua, bersama sodaraah perempuanku yang setia menemani. Tidak malam, sayang. Lagilagi aku mengalahkan ambisi untuk sampai ke tempat tujuan. Lelah memang, tapi begitulah ambisi. Rasanya dapat mengalahkan diri sendiri itu hal yang membuatku segan pada diri ini. Mampu untuk berperang melawan ketidakmungkinan *ucapkan selamat pada diri sendiri sambil tepuk tangan*

 *balik ke malam hari* acara sepedah malam itu hal yang paling kunanti. Sama ketika halnya aku ikut acara Tangerang Last Friday Ride dalam rangka miladnya yang ke tiga tahun *kalau tidak salah* semua pesepedah berkumpul di Alunalun Pusat Pemerintahan atau bisa digauli dengan kata Puspem. Banyak yang datang, mulai dari Ciledug, Cipondoh, Kotabumi, Perum, Cimone, bahkan ada yang dari Bandung sekalipun. Senang rasanya berkumpul bersama mereka. Kau tahu? Malam itu pesepeda perempuan bisa dihitung dengan jari. Tidak banyak.

  Kami mengitari Kali Cisadane, sampai diakhir perjalanan hujanpun datang. Semua berteduh. Lama. Dan di situlah cerita manis terukir dalam tigapuluhsatu Oktober duaribuempatbelas. Ada sedikit kenangan yang bisa kupetik. Mulai dari punya teman baru, adekadek baru, sampai kenalan baru *sambil joged* hahaha. Pesepeda tidak hanya para remaja, tetapi juga anakanak bocah yang sudah dari awal ikut TLFR #1dan2.

 Mereka rombongan. Aku? aku hanya seorang diri. Barang kali seperti lagu, terlalu lama sendiri. Laaah hahaha. Berangkat dari rumah menuju tempat menimba ilmu *memangnya ilmu ditimba apa ya? kayak sumur saja haha* ketika pulang aku langsung cusss deh ke Puspem. Itulah pengalaman pertama bersepeda jauh sampai larut malam. Eitsss, tenang aku sudah izin dengan kedua orang tuaku kok.

  Rasanya masih banyak rute yang harus kutempuh lagi. Tidak usahlah jauhjauh yang penting berkesan dalam perjalanan. Itu  sudah cukup. Juga mampu mengalahkan diri sendiri. Itulah ambisi. Untuk dirimu yang senang bersepeda, bersepedalah dengan tenang dan damai, karena itu akan membuat pikiranmu menjadi lebih bebas. Patuhilah rambu lalu lintas di jalan. Tidak gaduh. Sekian.

 Entah kalimat apa yang tepat untuk mengakhiri narasi ini. aku hanya ingin mengetik “hei kamu, iya kamu. Sepedahan bareng yuk!” eaaah, baperlukalamaabaikanbabay. Wakakakakakak. 

Dentuman Limabelas

Kau tahu bagaimana rasanya jadi aku? Membumbung bebas dalam imaji yang tak sempat dibatasi oleh pembatas yang terbatas-batas. Kau tahu? Bagaimana? Tidak, kau hanya penikmat! Aku yang menjalani. Meronta bebas dalam kelu yang tak sempat terbaca oleh indera. Aku, ya aku.

            Aku tak sempat membuat pertanda untuk hari esok. Hari ini saja lusuhku masih sepenuhnya. Berantakan. Aku meronta dalam jerit yang tidak kuperdengarkan. Alloh aku padaMu. Titik.

Tangis itu menandakan ada penyesalam dalam pembelajaran. Kenapa aku tidak belajar dari mereka sang penguasa bumi? Pada mereka sang penjilat kata? Pada mereka sang pemakna hidup? Juga pada mereka sang pemeluk agama yang kokoh? Kenapa tidak? Aku hanya belajar dari apa yang kujalani, kulihat, lalu ditiduri.

            Pagi ini cayaMu enggan tuk menampakan silaunya. Kukira masih pukul pagi tapi sudah menunjukan pukul delapan dualima. Hembusan angin itu mengayun kibasan rambut yang masih basah. Ya, hembusan yang mengutakatik di atas kepalaku. Membawanya ke kiri lalu ke kanan. Menghempaskan basahnya.

            Banyak suara bising yang tidak ingin kudengar, tapi kau harus mendengarnya! Begitu lantunan hari ini. Hening. Tidak banyak sayupan dalam ruang ini. Hanya ada congor yang melantunkan komatkamitnya di luar sana. Kudengar. Hanya jadi pendengar. Sempat kecewa karena hari ini yang tidak ada perjanjian. Abaikan.

            Memalingkan wajah pada sudut yang tak ingin ditengok. Masam. Menggerutu sesosok. Seperti tidak berkawan. Menatap pada layar yang hanya bisa dihadapkan tanpa kata, juga tanpa ekspresi. Berkaca pada layar hitam, ah ternyata aku juga hitam.

            Bung, bung, bungkam! Tolak semua kenangan. Bung, bangun bung bangun. Hapus semua kenangan bung. Kelam cerita itu. Muak dengan semua yang sudah berlalu. Menatap sadis. Rasanya lelah jika harus berperang melawan penjajah. Ya, penjajah kenangan yang terus mengingatkan.

            Kini sudah angka dua yang kita torehkan dalam kenangan, terima kasih angka ini terus bertambah dalam perjalananku. Inilah yang harus kuberbaiki seraya memohon ampunan Sang Gusti Alloh. Rasanya cukup sesak. Bagaimanapun itu.

           



Untuk November di limabelas

Rasanya *titiktitik*

Kamis, 05 November 2015

Pelangi Setelah Hujan


“kelak, jika kau melihat pelangi maka kau baru saja melihat rintikan hujan yang turun membasuhi ketulusan bumi pada langit. Yaa, sama seperti senyum itu”

Pagi ini gerimis baru saja reda, setelah semalam tanah yang mengering dibasuh oleh hujan yang membuat jejak kaki menjadi kecokelatan. Rumah yang tak beralas. Dinding yang tak berpasir. Jangan kau tanya bagaimana keadaan rumah itu!

Pak Ekey baru saja menyiapkan sarapan pagi untuk anak tercintanya, anak semata wayang hasil buah madunya dengan perempuan yang ia eluh-eluhkan selama hidupnya. Di meja makan terhidang dua buah piring berisi nasi dan kerupuk yang disiram kuah kekuningan hasil campuran nangka dan santan, serta segelas air putih yang sudah terisi setengah. Melin dengan lahap menyantap nasi yang disiapkan oleh Ayahnya sambil meraba-raba apa yang ia makan.

Pak Ekey dengan senyum kecil menyemangati Melin yang sedang meneguk air hangat untuk bekal sebelum ia pergi ke sekolah. Melin adalah anak pertama dari istrinya yang sudah dulu meninggalkan mereka. Bu Septi, ya Bu Septi ia meninggal karena sakit pusing yang diderita disertai batuk dahak berdarah, ditambah beban kerja yang harus dikerjakan sebagai buruh cuci dari rumah ke rumah, setelah selesai mencuci ia pun harus membantu tetangga sebelah untuk menjual gorengan yang sudah disiapkan. Karena kelelahan maka hari Bu Septi pun tiba. Sekian.
***

Bu Septi, perempuan kuat yang tidak menggantungkan kelemahannya pada seorang laki-laki. Ia menafkahi suami dan anak tercintanya. Karena Pak Ekey sudah tidak berdaya, kedua kakinya lumpuh karena kecelakaan mobil sewaktu dulu iamenjadi sopir angkot. Angkot yang ia kemudikan ditabrak oleh truk angkut besi baja, sang pengemudi mengantuk lalu menubruknya. Pengemudi truk meninggal di tempat. Pak Ekey pun terkena imbasnya.

Semenjak kejadian itu, Bu Septi dengan semangatnya mengurus suami tercinta juga anak kesayangannya. Melin, ia harus tetap tersenyum meskipun tidak bisa melihat keindahan alam di hadapannya. Melin buta. Tunanetra. Tapi ia tetap berprestasi. Ia bersekolah di Sekolah Luar Biasa atau biasa disebut SLB, berkah bantuan ketua RT serta warga setempat yang mengajukan permohonan ke Dinas Pendidikan Daerah untuk Melin bersekolah. Karena warga setempat tahu bahwa Melin adalah anak cantik yang cerdas. 
***

“Ayah, kata bu guru besok aku sekolahnya libur yah. Berarti besok ayah harus mengajak aku jalan-jalan keluar ya yah?” sapaan Melin hangat penuh rayuan.
“Iya, ayah akan mengajakmu berlari ke tempat yang lapang, lalu kita bertemu dengan Ibumu ya?” Tanya Pak Eyek
“Aku setuju Ayah” Seru Melin

            Keesokan harinya mereka berangkat ke tanah lapang yang sudah direncanakan. Melin mendorong kursi roda yang ditumpangi oleh Ayahnya, dan ayahnyalah yang mengarahkan Melin untuk mendorong kursi rodanya. Sepanjang jalan mereka bercerita dengan asyiknya, bahkan sesekali Melin tertawa terbahak-bahak karena lelucon Ayahnya.

            Sesampainya di tempat tujuan, mereka tidak berjalan-jalan apalagi berlari mengitari tanah lapang. Yang mereka lakukan hanya menjenguk wanita hebat yang dikagumi. Sambil menabur wewangian dan bunga-bungaan kecil di atas pusara sang Ibu. Melin menangis dengan harunya, ia menghujani gundukan tanah itu, tapi tetap saja ia tidak dapat mengeluarkan air mata.

            Pak Ekey dengan komatkamit mulutnya sambil menggenggam secarik kertas yang dulu pernah ia terima dari wanita yang kini menjadi istri tercintanya. Kertas itu adalah mahar pemberian dari sang istri kepada pak Ekey, ditulis di atas kertas berwarna putih yang kini sudah lusuh karena dimakan usia. Kertas itu selalu dibawanya ke manapun pak Ekey pergi. Kertas yang bertuliskan:

Untuk laki-laki yang kini sudah sah menjadi pendamping hidupku
Terima kasih kau telah memilih aku menjadi perempuan terakhirmu
Dalam bahtera keluarga yang InsyaAlloh dalam barokahNya
Kini aku sudah halal menjadi perempuanmu
Menemanimu ditiap lembar kehidupan
Aku tidak akan mengeluh padamu
Karena ini adalah keputusanku yang memilihmu
Karena aku menyayangimu
Sebagimana Khodijah mencintai Muhammad
Tulus penuh dengan keikhlasan
Ketika waktu kan memanggil
Semoga cintaku cintamu tetap satu
Bimbing aku menuju ridhoNya. Bersamamu.

***

Melin tambah terisak tangis ketika ayahnya membacakan secarik kertas itu. Karena Melin baru pertama kali mendengarnya. Melin langsung memeluk ayahnya dan berkata ”Ayah, aku tidak ingin kehilangan manusia-manusia terbaik dalam hidupku. Termasuk kamu ayah! Aku menyayangimu yah, janji ya jangan tinggalkan aku? Sambil sesekali sesegukan. “Iya, ayah akan ada untuk wanita tercantik ayah. Selama-lamanya” balas Ayah ke Melin.

Seusai berkunjung ke pusara, ayah dan Melin pulang. Namun sebelum pulang Melin ingin mencium pusara Ibunya. Ia menciumnya lantas sedikit berbisik di papan. “Bu terus tersenyum di akhirat sana ya, seperti aku tersenyum melihat dan merasakan bahwa Ibu dekat denganku” bisik Melin.

Lantas Ayah dan Melin pun pulang. Seperti biasa Ayah yang mengarahkan Melin untuk mendorong kursi roda itu. Sebelum sampai di rumah, Ayah mengajak Melin untuk mampir membeli makan di Warteg. Sederhana, hanya lauk nasi dan beberapa telur dadar serta air teh hangat yang dipesannya. Uang selembar limaribu-an dua lembar uang duaribu-an serta selembar uang seribuan diberikan Ayah kepada pramusaji Warteg.

Sesampainya di rumah. Langit baru saja meneteskan tangisannya. Pertanda akan adanya hujan besar. Di ruang makan yang hanya ada dua kursi dan satu meja. Melin membuka kantung plastik berisikan nasi yang baru saja dibeli Ayah. Ayah meletakkan nasi di piring, Melin pun duduk di kursi yang sudah tertata rapih. Mereka menyantap makan sore dengan sangat lahapnya. Dalam makan ada saja percakapan yang dibahas oleh keduanya.

“Melin” sapa Ayah dalam hening. “Melin sayang, kamu adalah berlian yang Ayah punya. Ayah bahagia punya kamu di dunia ini. Juga punya istri setulus Ibumu nak. Kamu pelangi Ayah nak. Pelangi ketika hujan turun. Ayah mau kelak kau setulus Ibumu, yang terus merawat Ayah dalam kekurangan. Ayah menyayangi kalian, karena kalianlah semangat hidup Ayah” kemudian meneguk air di hadapannya.

Lantas, Melin hanya dapat tersenyum dan menghadapkan wajahnya ke depan. Tanpa tahu Ayah benar-benar ada di hadapannya atau tidak. Sekian. 



05 November 2015 

Cuplikan Teruntuk