Kamis, 05 November 2015

Pelangi Setelah Hujan


“kelak, jika kau melihat pelangi maka kau baru saja melihat rintikan hujan yang turun membasuhi ketulusan bumi pada langit. Yaa, sama seperti senyum itu”

Pagi ini gerimis baru saja reda, setelah semalam tanah yang mengering dibasuh oleh hujan yang membuat jejak kaki menjadi kecokelatan. Rumah yang tak beralas. Dinding yang tak berpasir. Jangan kau tanya bagaimana keadaan rumah itu!

Pak Ekey baru saja menyiapkan sarapan pagi untuk anak tercintanya, anak semata wayang hasil buah madunya dengan perempuan yang ia eluh-eluhkan selama hidupnya. Di meja makan terhidang dua buah piring berisi nasi dan kerupuk yang disiram kuah kekuningan hasil campuran nangka dan santan, serta segelas air putih yang sudah terisi setengah. Melin dengan lahap menyantap nasi yang disiapkan oleh Ayahnya sambil meraba-raba apa yang ia makan.

Pak Ekey dengan senyum kecil menyemangati Melin yang sedang meneguk air hangat untuk bekal sebelum ia pergi ke sekolah. Melin adalah anak pertama dari istrinya yang sudah dulu meninggalkan mereka. Bu Septi, ya Bu Septi ia meninggal karena sakit pusing yang diderita disertai batuk dahak berdarah, ditambah beban kerja yang harus dikerjakan sebagai buruh cuci dari rumah ke rumah, setelah selesai mencuci ia pun harus membantu tetangga sebelah untuk menjual gorengan yang sudah disiapkan. Karena kelelahan maka hari Bu Septi pun tiba. Sekian.
***

Bu Septi, perempuan kuat yang tidak menggantungkan kelemahannya pada seorang laki-laki. Ia menafkahi suami dan anak tercintanya. Karena Pak Ekey sudah tidak berdaya, kedua kakinya lumpuh karena kecelakaan mobil sewaktu dulu iamenjadi sopir angkot. Angkot yang ia kemudikan ditabrak oleh truk angkut besi baja, sang pengemudi mengantuk lalu menubruknya. Pengemudi truk meninggal di tempat. Pak Ekey pun terkena imbasnya.

Semenjak kejadian itu, Bu Septi dengan semangatnya mengurus suami tercinta juga anak kesayangannya. Melin, ia harus tetap tersenyum meskipun tidak bisa melihat keindahan alam di hadapannya. Melin buta. Tunanetra. Tapi ia tetap berprestasi. Ia bersekolah di Sekolah Luar Biasa atau biasa disebut SLB, berkah bantuan ketua RT serta warga setempat yang mengajukan permohonan ke Dinas Pendidikan Daerah untuk Melin bersekolah. Karena warga setempat tahu bahwa Melin adalah anak cantik yang cerdas. 
***

“Ayah, kata bu guru besok aku sekolahnya libur yah. Berarti besok ayah harus mengajak aku jalan-jalan keluar ya yah?” sapaan Melin hangat penuh rayuan.
“Iya, ayah akan mengajakmu berlari ke tempat yang lapang, lalu kita bertemu dengan Ibumu ya?” Tanya Pak Eyek
“Aku setuju Ayah” Seru Melin

            Keesokan harinya mereka berangkat ke tanah lapang yang sudah direncanakan. Melin mendorong kursi roda yang ditumpangi oleh Ayahnya, dan ayahnyalah yang mengarahkan Melin untuk mendorong kursi rodanya. Sepanjang jalan mereka bercerita dengan asyiknya, bahkan sesekali Melin tertawa terbahak-bahak karena lelucon Ayahnya.

            Sesampainya di tempat tujuan, mereka tidak berjalan-jalan apalagi berlari mengitari tanah lapang. Yang mereka lakukan hanya menjenguk wanita hebat yang dikagumi. Sambil menabur wewangian dan bunga-bungaan kecil di atas pusara sang Ibu. Melin menangis dengan harunya, ia menghujani gundukan tanah itu, tapi tetap saja ia tidak dapat mengeluarkan air mata.

            Pak Ekey dengan komatkamit mulutnya sambil menggenggam secarik kertas yang dulu pernah ia terima dari wanita yang kini menjadi istri tercintanya. Kertas itu adalah mahar pemberian dari sang istri kepada pak Ekey, ditulis di atas kertas berwarna putih yang kini sudah lusuh karena dimakan usia. Kertas itu selalu dibawanya ke manapun pak Ekey pergi. Kertas yang bertuliskan:

Untuk laki-laki yang kini sudah sah menjadi pendamping hidupku
Terima kasih kau telah memilih aku menjadi perempuan terakhirmu
Dalam bahtera keluarga yang InsyaAlloh dalam barokahNya
Kini aku sudah halal menjadi perempuanmu
Menemanimu ditiap lembar kehidupan
Aku tidak akan mengeluh padamu
Karena ini adalah keputusanku yang memilihmu
Karena aku menyayangimu
Sebagimana Khodijah mencintai Muhammad
Tulus penuh dengan keikhlasan
Ketika waktu kan memanggil
Semoga cintaku cintamu tetap satu
Bimbing aku menuju ridhoNya. Bersamamu.

***

Melin tambah terisak tangis ketika ayahnya membacakan secarik kertas itu. Karena Melin baru pertama kali mendengarnya. Melin langsung memeluk ayahnya dan berkata ”Ayah, aku tidak ingin kehilangan manusia-manusia terbaik dalam hidupku. Termasuk kamu ayah! Aku menyayangimu yah, janji ya jangan tinggalkan aku? Sambil sesekali sesegukan. “Iya, ayah akan ada untuk wanita tercantik ayah. Selama-lamanya” balas Ayah ke Melin.

Seusai berkunjung ke pusara, ayah dan Melin pulang. Namun sebelum pulang Melin ingin mencium pusara Ibunya. Ia menciumnya lantas sedikit berbisik di papan. “Bu terus tersenyum di akhirat sana ya, seperti aku tersenyum melihat dan merasakan bahwa Ibu dekat denganku” bisik Melin.

Lantas Ayah dan Melin pun pulang. Seperti biasa Ayah yang mengarahkan Melin untuk mendorong kursi roda itu. Sebelum sampai di rumah, Ayah mengajak Melin untuk mampir membeli makan di Warteg. Sederhana, hanya lauk nasi dan beberapa telur dadar serta air teh hangat yang dipesannya. Uang selembar limaribu-an dua lembar uang duaribu-an serta selembar uang seribuan diberikan Ayah kepada pramusaji Warteg.

Sesampainya di rumah. Langit baru saja meneteskan tangisannya. Pertanda akan adanya hujan besar. Di ruang makan yang hanya ada dua kursi dan satu meja. Melin membuka kantung plastik berisikan nasi yang baru saja dibeli Ayah. Ayah meletakkan nasi di piring, Melin pun duduk di kursi yang sudah tertata rapih. Mereka menyantap makan sore dengan sangat lahapnya. Dalam makan ada saja percakapan yang dibahas oleh keduanya.

“Melin” sapa Ayah dalam hening. “Melin sayang, kamu adalah berlian yang Ayah punya. Ayah bahagia punya kamu di dunia ini. Juga punya istri setulus Ibumu nak. Kamu pelangi Ayah nak. Pelangi ketika hujan turun. Ayah mau kelak kau setulus Ibumu, yang terus merawat Ayah dalam kekurangan. Ayah menyayangi kalian, karena kalianlah semangat hidup Ayah” kemudian meneguk air di hadapannya.

Lantas, Melin hanya dapat tersenyum dan menghadapkan wajahnya ke depan. Tanpa tahu Ayah benar-benar ada di hadapannya atau tidak. Sekian. 



05 November 2015 

Cuplikan Teruntuk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar