Rabu, 18 November 2015

Dentuman Limabelas

Kau tahu bagaimana rasanya jadi aku? Membumbung bebas dalam imaji yang tak sempat dibatasi oleh pembatas yang terbatas-batas. Kau tahu? Bagaimana? Tidak, kau hanya penikmat! Aku yang menjalani. Meronta bebas dalam kelu yang tak sempat terbaca oleh indera. Aku, ya aku.

            Aku tak sempat membuat pertanda untuk hari esok. Hari ini saja lusuhku masih sepenuhnya. Berantakan. Aku meronta dalam jerit yang tidak kuperdengarkan. Alloh aku padaMu. Titik.

Tangis itu menandakan ada penyesalam dalam pembelajaran. Kenapa aku tidak belajar dari mereka sang penguasa bumi? Pada mereka sang penjilat kata? Pada mereka sang pemakna hidup? Juga pada mereka sang pemeluk agama yang kokoh? Kenapa tidak? Aku hanya belajar dari apa yang kujalani, kulihat, lalu ditiduri.

            Pagi ini cayaMu enggan tuk menampakan silaunya. Kukira masih pukul pagi tapi sudah menunjukan pukul delapan dualima. Hembusan angin itu mengayun kibasan rambut yang masih basah. Ya, hembusan yang mengutakatik di atas kepalaku. Membawanya ke kiri lalu ke kanan. Menghempaskan basahnya.

            Banyak suara bising yang tidak ingin kudengar, tapi kau harus mendengarnya! Begitu lantunan hari ini. Hening. Tidak banyak sayupan dalam ruang ini. Hanya ada congor yang melantunkan komatkamitnya di luar sana. Kudengar. Hanya jadi pendengar. Sempat kecewa karena hari ini yang tidak ada perjanjian. Abaikan.

            Memalingkan wajah pada sudut yang tak ingin ditengok. Masam. Menggerutu sesosok. Seperti tidak berkawan. Menatap pada layar yang hanya bisa dihadapkan tanpa kata, juga tanpa ekspresi. Berkaca pada layar hitam, ah ternyata aku juga hitam.

            Bung, bung, bungkam! Tolak semua kenangan. Bung, bangun bung bangun. Hapus semua kenangan bung. Kelam cerita itu. Muak dengan semua yang sudah berlalu. Menatap sadis. Rasanya lelah jika harus berperang melawan penjajah. Ya, penjajah kenangan yang terus mengingatkan.

            Kini sudah angka dua yang kita torehkan dalam kenangan, terima kasih angka ini terus bertambah dalam perjalananku. Inilah yang harus kuberbaiki seraya memohon ampunan Sang Gusti Alloh. Rasanya cukup sesak. Bagaimanapun itu.

           



Untuk November di limabelas

Rasanya *titiktitik*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar