“Nak, biarkan susu itu
manis seperti adanya, jangan kau tambahkan rasa hangat atau getir. Pasti
berbeda rasanya” Mas Purno menepuk bahu kananku. “Tapi memang begitu
seharusnya, Mas” timpalku melirik tajam.
Dari dulu Mas Purno
memang tidak suka dengan bau hangat dan getir dari racikan minuman yang kubuat.
Ia selalu mengatakan bahwa itu adalah minuman sampah, yang hanya dibuat oleh
tangan-tangan kecil sepertiku. Katanya.
Mas Pur kupanggilnya. Ia kakak tertua dari delapan bersaudara. Pekerjaannya hanya memantau keadaan pasar yang ia kelola. Semua warga pasar sangat merunduk. Ia memiliki kuasa di kawasannya. Sekalinya ia mengedikkan badan, semua akan terdiam.
Masku
sangat sayang pada perempuan yang melahirkannya, sampai ketika ayahku wafat Mas
Pur tidak pulang ke rumah. Katanya jika pulang ke rumah menandakan air mata
yang berjatuhan. Ia lebih memilih mengamankan pasar dan menghilangkan
kesedihannya. Ia membunuh sopir angkot yang menabrak ayahku. Polisi berdatangan,
tangan Mas pur diborgol. Dua tahun ia mendekap di jeruji besi.
Cerita ini belum usai, sebab terhalang ide dan inspirasi yang mandek wkwkwkwkw