Selasa, 29 September 2015

Duapuluhtahun Tanpaspasi


           Hei, tanggal sudah menunjukkan angka duasembilan, sehari lagi berganti menuju Oktober. September oh September kenapa engkau pergi? September oh September temui aku lagi tahun esok ya. Aku takut jika September tahun esok sudah tiada. Semoga.

           Di bulan September berkah ini banyak kejutan yang tidak terduga, terima kasih untuk Sang Mahacinta atas semua kenyataan yang aku dapatkan. Terima kasih juga untuk duaribulimabelas karena kini usiaku bertambah tua, kini aku menunggu massaku tiba pada akhir kehidupan seraya memohan ampun atas sembilanbelas tahun sebelas bulan duapuluhdua hari yang sudah kulalui.

            Aku merasa bobrok untuk hal yang belum sempat terijabah, malu pada diri sendiri pada kemaluan yang aku gores, dan iba pada diri sendiri yang masih mengemis. Duasembilan ketika aku mengetik cerita ini ada perempuan bermafela keunguan yang tidak ingin menciptakan kata-kata seperti ini. Kupaksa lalu ia tertawa. Lantas, hanya menggoyang-goyangkan kursi yang ditungganginya. Lalu menghilang dari hadapan.

           Duasembilan aku merasa bahagia, hidup dalam September yang banyak lumuran doa dari mereka yang mengenalku, dulu, kini, dan mungkin nanti. Terima kasih untuk bertambah tuanya diri ini karena masih mau bersama jasad yang sudah tidak asli tuk disinggahi.

           Mata ini, duabibir ini, tangan ini, kaki ini, bahkan hati ini sudah bukan asli seasli-aslinya. Jika kau melihatku apa adanya maka aku bukanlah itu, karena aku masih menyamar menjadi manusia yang apa adanya.

            Tepat di malam itu, bersama keluarga seusai pengajian kita berkeluh kesah berbagi cerita dan akhirnya soraksorak lilinmerah—pun menghampiri untuk didoakan. Biasa saja, terkejutpun tidak, hanya purapura terkejut untuk manusia yang sudah menyiapakan semuanya. Tapi, kalian harus tahu pada detik yang bersamaan aku merasa sedih karena perhatian mereka begitu tulus dan tak mampu terucap. Ada rasa syukur yang membanjiri atas tulusnya mereka.

            Aku menghela napas, seraya dalam hati menggoncang tubuh. Inilah keluarga tercintaku, bersama kalian aku belajar, bersama kalian aku tertawa, dan bersama kalianlah aku merasakan bagaimana susahnya belajar, susahnya tertawa, karena itulah aku memilikimu. Keluarga.

            Untuk kamu wanita yang mengusahakanku lingkar bertabur cokelat, terima kasih atas ketulusanmu yang membuatku senyum tertawa dan its awesome. Kita harus banyak menjelajah lagi, meskipun tidak terlalu jauh rutenya, tapi  aku cukup puas jika harus bersepedah denganmu hei perempuanku. Yaa kamu. Aku teramat menyayangimu kau tahu kenapa? Karena kau adalah keluargaku.

            September oh September, esok harimu telah usai. Inginku terus berbulanmu, namun itu siasia, karena September spesial, jadi hanya sekali dalam rentetan bulan Masehi. Ber— aku menyayanginya, dirimu, dirinya, dan semua tentangmu. Ber— aku mau semoga Oktober menyambutku dengan ramah seperti sepuluh Oktober lalu ditahun yang lalu pula. Itu indah ber—.
Aku rindu hujan, rindu malam, rindu cerita, dan aku rindu peraduan bersama ber—


Untuk ber— dibulan September.
Mengenang September bersama September. Sekian.



Senin, 14 September 2015

Seperti Kamu

Misterius. 
Kocak. 
Cerdas. 
Perhatian. 
Bahagia. 
Bete. 
Awesome. Proses. 
Kecewa. 
Menangis. 
Luka. Sedih. Move on. 
Gagal gagal. Hampir berhasil. Gagal. 
Diriku Siapapun panggilanmu. 

Hei manusia!

Jumat, 04 September 2015

Seperti September


                 Hallo hujan, hallo kamu, hallo elegi, eh iya lupa. Hallo September ceria :)

           Sudah tanggal tiga bulan Sembilan dua ribu lima belas, beralamatkan kursi kokoh penyangga beban tubuh. Berselimutkan purnama di gelapnya sang malam.
Hallo September, hallo hallo hallo~
Tahun kemarin September bersama keluarga, tahun lalunya lagi September bersama kamuuuh, dan tahun lalu lalunya lagi bersama yang tak bisa kusebutkan. Haha *lalu*

            Cerita September begitu pekat, dalam imaji yang tidak lagi sama. Baru tiga hari dalam bulan September. Menghitung sisa yang tak ada habisanya hingga akhir bulan nanti. Yaa, akhir bulan.

            Jika kau berbahagia telah lahir di bulan September, maka bagitupun aku. Kita sama. Dalam bulan yang penuh baarokahnya Gusti Alloh. Tapi kita berbeda. Pada satu titik yang Alloh tentukan, kau pasti tahu apa itu. Bulan yang akhirannya –ber membuat aku begitu ber­-semangat menyambutnya. Entah mengapa aku menunggu bulanmu juga. September.

            Aku menjadi perempuan yang sangat bersyukur karena September, karena September pulalah Ibuku berjuang melahirkanku ke dunia ini. Lalu, dipertemukan denganmu. Terima kasih untuk semua cinta yang tulus atas kebersediaan Ibuku karena mau melahirkanku, hingga akhirnya aku tumbuh seperti sekarang. Menjadi dewasa, tua, renta, lalu meninggal.

            Kau perempuan hebat yang pernah aku miliki, tapi aku belum bisa menggapai rohmu untuk dapat kubahagiakan. Aku tak tahu bagaimana merangkul rohmu untuk dibahagiakan. Jasadmu saja belum mampu untukku beri senyum tulus yang menggores di hatimu. Daku masih seperti ini, terus membangkang dan akhirnya tersungkur di hadapan wanita hebat sepertimu. Tapi, aku akan terus berusaha sampai kudapatkan roh dan jasadmu bahagia karenaku.

            Hebatmu, kuatmu, kasih sayangmu, juga perlindunganmu semuanya tulus, tulus setulus-tulusnya. Terima kasih untukmu perempuanku atas kepercayaanmu telah mau melahirkanku di bulan September.




Untuk Ibuku di bulan September
Dari si sulung yang terlahir tidak sempurna




Kursi belajarku, 03 September 2015

Kabit Fiasko


      Pagi tadi sangat sejuk, siangnya sangat terik, namun entah bagaimana bisa malam ini hujan. Bukan hujan yang sesungguhnya, tapi hujan buatan untukku. Di lorong yang terus kusinggahi untuk melepas lelah. Malam ini.

      Tidak banyak kata tentangmu. Apa adanya, baik hati, cerdas, sederhana, dan misterius. Itu yang aku suka. Kukira aku bisa untuk melupakan kejadian itu, semua pesan singkat itu, dan semua tentang “itu”. Aku yakin aku bisa untuk menambal hati yang sudah patah ini dengan kepingan yang hancur pula. Tapi, aku tak percaya semuanya belum bisa untuk dimulai.

      Begitu keras usahaku untuk *pura-pura* lupa. Hati memang tak lagi sama, untukmu. Tapi untukku? Sama. Sekian.
Ketika aku siap untuk percaya padamu, semuanya mulai hilang. Ada proses kepercayaan yang aku tanamkan, yaa semua proses itu. Namun, saat keyakinanku sudah teramat matang, lantas kau pergi. Kau tahu bagaimana caraku untuk meyakinkan itu semua? Ada proses, yaaa proses.

      Kukira semuanya akan baik-baik saja sampai nanti pada waktunya, tapi waktu sudah terlalu cepat untuk menutup buku. Aku bisa merasakan bagaimana rasanya menangis, merasakan bagaimana rasanya jatuh, merasakan bagaimana menahan napas lalu kentut *laaaaaah haha (baca: bercanda), bahkan aku masih bisa tersenyum di hadapan banyak pasang mata yang bertanya “kenapa?”

      Mungkin dulu aku mampu berkata mengikhlaskan, kau tahu ikhlas itu? Yaa, ikhlas yang membuat aku berjuang sendiri untuk meminta kejelasan, dari apa yang sudah kita putuskan bersama (baca: jadi apa yang harus dijelaskan toh mba? Kan keputusan bersama haha). Dirimu berbeda dari yang lain, kau tahu itu? Aku tak peduli bagaimana orang beranggapan tentangmu tapi yang kutahu bentuk senyummu, potongan rambutmu, bahkan gayamu sekalipun, karena itulah kau berbeda di hadapanku.

      Kini waktu berputar, berlian tak melulu abadi. Begitupun rasa itu. Setiap malam aku berharap agar kau tak hadir dalam mimpiku, tapi kenyataan ada saja malam yang mengusikku dengan hadirnya dirimu. Kau tahu? Aku menangisi untuk semalam yang terjadi.

     Aku terlalu asyik dengan duniaku, sampai akhirnya perasaanmulah yang kukesampingkan; sudah lama kontak itu tak bernyawa, tapi ketika duapuluh, detak itu ada dan muncul untuk hal yang sangat mengejutkan.
Lagi, kau ucapakan sapaan manismu di pesanku. Sontak aku terngangah dengan semua yang kau lakukan, hingga akhirnya aku tak kuasa, dan kaupun tahu apa yang terjadi . . .

     Kutahu, hanya aku yang mengusik ketenanganmu, mengganggu karena telah menyebut namamu tanpa izin. Terima kasih untuk malam yang sangat indah, kuketikkan semampuku yang bisa kuketik. Kututup akhir bulan dengan semeringahnya cerita kusut ini.
Semangat berganti September *titikdua kurungtutup*


Dari perempuan yang baru aja ngetik




Corak cokelat, 31 Agustus 2015

Bercak di Kampung Kelapa


Apa kabar para pembaca blogku yang setia? Lama tak bersua dan berkutak dengan kalian. Kali ini aku akan bercerita tentang aku dan sodaraaah-sodaraaahku tercinte, hohoho
Asalku dari kampung yang sangat sejuk dan asri, yaa kampung itu bernama Kampung Kelapa.

Ada di sudut kota yang jalannya berkelok-kelok. Hanya kami orang kampung yang tahu di mana itu Kampung Kelapa. Untuk kalian yang tidak tahu, sesekali bukalah di google maps, pastai tidak akan ketemu. Yang akan kalian temukan nanti pasti bangunan mewah-mewah, yaitu seperti mall Alam Sutera. Yaa, kampungku sudah habis dibabat oleh kejamnya peradaban kota.

            Tapi, sodaraaah-sodaraaahku masih sama seperti dulu. Kami sering temu kangen, jalan bareng, bahkan kami sering foto-foto bareng. Yaa kayak anak zaman sekarang gitu, biar ada kenangannya.

            Untuk teh memel, melati, irna, tompel, paul, faisal, andri, iqo, pai, teh wela, pipit, yuni, yudi, aa dian, aa rendi, tompel, lita, dina, eno, sindi, debby, novi pesek, malik, the puput, raja, aa madini, gembot, okem, badra, ating, nita, teh jannah, adit bule, teh seli, randy, iie, dan semua yang tak bisa kusebutkan secara rinci.

            Andai saja waktu bisa diputar kembali seperti pintu kemana saja punya Doraemon, pasti kita akan terus sama-sama. Tapi sudahlaaah. Cukup.

Dari sekian banyak sodaraaahku, hanya aku yang pindahnya cukup jauh dari kampung asalku. Aku pindah di tempat yang panas ketika siang, sunyi ketika malam, namun malam-malam di sini begitu sejuk, dan aku bisa menikmati semua yang ada di sini.

Aku senang beralamatkan rumah baru, dedaunan baru, suasana baru, halaman baru, dan juga masyarakat baru, tapi tak bisa dipungkiri aku merindukan rumah lamaku yang jauh lebih segar dan sejuk suasannya. Begitupun dengan warganya, karena di kampung lamaku semuanya sodaraaah, jadi aku nyaman bersama mereka. Mulai dari kebaikannya, nakalnya, jahilnya, marahnya, bahkan kata-kataanya, aku hafal semuanya.

Ada banyak cerita yang pernah kita goreskan, semuanya tidak melulu baik, tapi ada saja yang sangat berkesan. Ketika aku terus tumbuh dan dewasa, semoga kenangan itu terus di sampingku. Bersama kalian. Aku sayang kalian sodaraaah-sodaraaahku.

Perjalanan harus terus maju, menengok ke samping, belakaang sah-sah saja. Aku belajar kuat dari perpisahan bersama keluargaku di Kampung Kelapa, juga belajar untuk bisa merasa nyaman dengan lingkungan baruku.

Salam  sayang untuk kalian sodaraaah-sodaraaahku di Kampung Kelapa :*