Jumat, 04 September 2015

Kabit Fiasko


      Pagi tadi sangat sejuk, siangnya sangat terik, namun entah bagaimana bisa malam ini hujan. Bukan hujan yang sesungguhnya, tapi hujan buatan untukku. Di lorong yang terus kusinggahi untuk melepas lelah. Malam ini.

      Tidak banyak kata tentangmu. Apa adanya, baik hati, cerdas, sederhana, dan misterius. Itu yang aku suka. Kukira aku bisa untuk melupakan kejadian itu, semua pesan singkat itu, dan semua tentang “itu”. Aku yakin aku bisa untuk menambal hati yang sudah patah ini dengan kepingan yang hancur pula. Tapi, aku tak percaya semuanya belum bisa untuk dimulai.

      Begitu keras usahaku untuk *pura-pura* lupa. Hati memang tak lagi sama, untukmu. Tapi untukku? Sama. Sekian.
Ketika aku siap untuk percaya padamu, semuanya mulai hilang. Ada proses kepercayaan yang aku tanamkan, yaa semua proses itu. Namun, saat keyakinanku sudah teramat matang, lantas kau pergi. Kau tahu bagaimana caraku untuk meyakinkan itu semua? Ada proses, yaaa proses.

      Kukira semuanya akan baik-baik saja sampai nanti pada waktunya, tapi waktu sudah terlalu cepat untuk menutup buku. Aku bisa merasakan bagaimana rasanya menangis, merasakan bagaimana rasanya jatuh, merasakan bagaimana menahan napas lalu kentut *laaaaaah haha (baca: bercanda), bahkan aku masih bisa tersenyum di hadapan banyak pasang mata yang bertanya “kenapa?”

      Mungkin dulu aku mampu berkata mengikhlaskan, kau tahu ikhlas itu? Yaa, ikhlas yang membuat aku berjuang sendiri untuk meminta kejelasan, dari apa yang sudah kita putuskan bersama (baca: jadi apa yang harus dijelaskan toh mba? Kan keputusan bersama haha). Dirimu berbeda dari yang lain, kau tahu itu? Aku tak peduli bagaimana orang beranggapan tentangmu tapi yang kutahu bentuk senyummu, potongan rambutmu, bahkan gayamu sekalipun, karena itulah kau berbeda di hadapanku.

      Kini waktu berputar, berlian tak melulu abadi. Begitupun rasa itu. Setiap malam aku berharap agar kau tak hadir dalam mimpiku, tapi kenyataan ada saja malam yang mengusikku dengan hadirnya dirimu. Kau tahu? Aku menangisi untuk semalam yang terjadi.

     Aku terlalu asyik dengan duniaku, sampai akhirnya perasaanmulah yang kukesampingkan; sudah lama kontak itu tak bernyawa, tapi ketika duapuluh, detak itu ada dan muncul untuk hal yang sangat mengejutkan.
Lagi, kau ucapakan sapaan manismu di pesanku. Sontak aku terngangah dengan semua yang kau lakukan, hingga akhirnya aku tak kuasa, dan kaupun tahu apa yang terjadi . . .

     Kutahu, hanya aku yang mengusik ketenanganmu, mengganggu karena telah menyebut namamu tanpa izin. Terima kasih untuk malam yang sangat indah, kuketikkan semampuku yang bisa kuketik. Kututup akhir bulan dengan semeringahnya cerita kusut ini.
Semangat berganti September *titikdua kurungtutup*


Dari perempuan yang baru aja ngetik




Corak cokelat, 31 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar